Rasa Bahasa

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 12 Agustus 2005.]

Secara membosankan dan garis besar, bahasa terdiri dari kalimat yang terdiri dari kata yang terdiri dari fonem. Selanjutnya, kata bermacam-macam jenisnya dan hanya dapat dipakai dalam situasi bahasa yang memungkinkan secara tata bahasa. Bentuk suatu kata juga ditentukan oleh pelbagai kaidah bahasa yang perlu dihafal para pemakainya, dan segala ketentuan bahasa perlu dihiraukan setiap penutur bahasa supaya pembicaraannya masuk akal.

Kedengarannya, bahasa itu serba dibatasi sejumlah kaidah yang serba kaku. Untungnya, gambar ini cukup keliru karena bahasa itu lebih dari sehimpunan peraturan yang telah disepakati ahli-ahli bahasa. Lebih tepatnya, bahasa itu ada rasanya: ia dapat dirasakan, harus dirasakan, dan ingin membuat para penuturnya merasakannya. Dengan kata lain, bahasa itu berkomunikasi tidak hanya melalui kaidah-kaidah bahasa tersebut, tetapi juga melalui rasa. Dua contoh cukup dikemukakan di sini.

Contoh pertama berkaitan dengan bahasa Arab. Bahasa ini merupakan bahasa Al Quran dan bahasa wahyu, dan oleh karena keadaan ini statusnya sebagai bahasa suci tak dapat disangkal. Terutama, bahasa Arab di Indonesia terdengar dalam dua situasi: pengajian Al Quran dan azan. Kebanyakan orang Islam di Indonesia dapat melafalkan bunyi-bunyi Al Quran meskipun kebanyakan dari mereka tak dapat mengerti secara tata bahasa apa yang sedang mereka lafalkan tadi. Walaupun begitu, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan tidak tanpa arti bagi mereka sendiri, dan harus diakui dapat berkomunikasi dengannya meski tidak pertama-tama secara tata bahasa. Dengan kata lain, bahasa tidak harus dipahami dalam rangka kaidah-kaidah bahasa.

Bahasa suci, seperti bahasa Arab, bisa-bisa saja menyampaikan intinya dengan cara lain, dan inti dari cara itu sendiri tidak lain selain rasa. Tidak jarang orang mengatakan bahwa mereka dapat merasakan kebesaran Allah, misalnya, ketika mereka mendengarkan pengajian Al Quran walaupun mereka tidak mengerti sekata pun dari pengajian tersebut. Malahan, bunyi ayat-ayat Al Quran itu dapat membuat orang menangis dengan tersedu-sedu, meski yang menangis tidak memahami bahasa Arab dan tidak tahu bagian mana dari kitab suci ini yang sedang dibacakan. Suara azan dapat dipahami dalam rangka yang sama.

Contoh kedua bertalian dengan hubungan saya sendiri dengan bahasa Jawa. Saya tidak dapat berbahasa Jawa (walaupun saya terkadang dapat memahami pembicaraan sederhana), dan tidak pernah mempelajari kaidah-kaidahnya. Namun, kadang-kadang bahasa ini dapat menggerakkan batin saya dan berkomunikasi dengannya meski tidak secara tata bahasa. Misalnya ketika saya menonton ketoprak Indonesia di TV. Pembicaraan di ketoprak ini sering kali dibumbui bahasa Jawa, dan saya bisa menemukan diri sendiri dalam keadaan tertawa walaupun saya tidak mengerti secara linguistik apa yang baru dikatakan.

Rasa bahasa Jawa itu sangat kental dan dapat membuat para pendengarnya memahami sedikit dari intinya walaupun tak masuk akal secara tata bahasa. Berkaitan dengan bahasa Jawa itu, sering kali juga dapat dirasakan apakah bahasa yang sedang dilafalkan merupakan bahasa sopan (kromo) atau bahasa kasar (ngoko). Malahan, kadang-kadang dapat dirasakan bahwa bahasa yang sedang diucapkan menyinggung hati lawan bicaranya walaupun kata-kata yang sedang dilontarkan tetap saja sama sekali asing.

Nah, apakah memang ada rasa bahasa itu dalam kenyataan ataukah itu hanya dalam bayangan seorang penulis kolom bahasa? Apakah yang disebut rasa itu sebetulnya tidak berkaitan dengan bahasa itu sendiri, tetapi lebih tepatnya hanya dengan gerak badan (dan muka) para penuturnya serta nada dan kecepatan mereka?

Tentunya, saya berkeyakinan rasa bahasa itu ada, seperti sudah dijelaskan dengan dua contoh di atas. Pengetahuan ini dapat berguna untuk pengajaran bahasa kepada anak-anak maupun orang dewasa dan guru-guru bahasa serta para orangtua dapat menarik beberapa kesimpulan penting di sini. Misalnya bahwasanya bahasa itu lebih baik diajarkan melalui lagu-lagu menyenangkan daripada melalui kaidah-kaidah tata bahasa yang sangat kaku. Dan bahwa rasa bahasa itu memang ada, dan bahwa rasa itu cukup manis.

Penulis sedang Menggarap Kamus Swedia-Indonesia, tinggal di Landskrona, Swedia

Satu pemikiran pada “Rasa Bahasa

  1. Ping-balik: Rasa Bahasa | RyNaRi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *