Golongan Menengah

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 25 Mei, 2012.]

Sejak dahulu orang suka menggolong-golongkan diri sendiri dan sesama manusia ke dalam macam-macam kelompok. Bisa kami duga bahwa penggolongan ini diterapkan agar dunia jadi lebih gampang dipahami dan juga agar kekuasaan dapat dilestarikan melalui garis-garis hierarki sosial yang dilahirkannya. Di India, misalnya, dikenal sistem kasta: walau sudah dilarang, tetap hidup dalam masyarakat setempat. Di Jawa hubungan sosial diwarnai oleh bahasa yang amat hierarkis agar tak ada yang lupa tempatnya pada tangga vertikal yang dinamakan kehidupan sosial.

Di pentas nasional pun selalu kedengaran omongan mengenai berbagai kelompok, kelas, atau golongan sosial dan ekonomi: ada ”golongan atas”, ”golongan bawah”, dan ”golongan menengah”. Selain itu, bagi yang merasa dirinya tak bisa dicocokkan ke dalam salah satu kelompok itu, ada juga ”golongan menengah ke atas” ataupun ”golongan menengah ke bawah”. Tentu saja ada juga ”golongan tak mampu” dan lawannya ”golongan mampu”.

Pengelompokan orang seperti ini barangkali terasa menusuk hati karena menggarisbawahi dan memperkuat ketidakadilan sosial yang yang menjadi ciri khasnya. Namun, masalah itu akan kami abaikan di sini. Di sini kami hanya akan menelusuri salah satu istilah: golongan menengah.

Istilah itu semakin populer sejak Soeharto lengser, dan seka- rang bisa dikatakan bahwa golongan inilah yang baik mendorong maupun didorong oleh ekonomi nasional. Supaya golongan ini tak perlu makan keripik singkong, impor kentang dari Selandia Baru naik secara drastis; itu salah satu tanda golongan ”baru” ini. Tanda lain adalah kegemarannya mencampuradukkan kata-kata dari bahasa yang berbeda. Namun, masalah itu juga akan kami abaikan di sini.

Nah, ada apa dengan golongan menengah ini dari segi bahasa? Ketika melihat kata menengah, saya selalu memahaminya sebagai kata kerja yang melibatkan gerakan ke tengah. Jadi, yang sedang menengah sedang menuju tempat di tengah, entah dari atas entah dari bawah, entah dari kiri entah dari kanan. Dengan demikian, golongan menengah selalu lagi bergerak ke tengah.

Terus, yang sudah sampai di tengah itu disebut apa? Ya, logis- nya golongan tengah dan, saya kira, itu yang sebenarnya dimak- sudkan dengan golongan menengah. Toh, tak ada ”golongan mengatas” atau ”golongan merendah”. Selanjutnya, ada apa dengan ”golongan menengah ke atas”? Mereka hendak ke mana? Ke tengah tapi juga ke atas? Tak aneh kalau pusing.

Sejujurnya Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak hanya memberi satu makna untuk lema menengah. Menurut KBBI ini, menengah juga kata sifat yang berarti ’sedang; tidak besar dan tidak kecil’, dan dalam arti ini golongan menengah sebenarnya masuk akal. Akan tetapi, usul saya supaya menengah dalam instansi ini dijadikan tengah saja agar lebih cocok dengan atas dan bawah jika masyarakat tetap ingin mengelompokkan diri dan tetangganya ke dalam pelbagai ranah yang baginya masuk akal.

Bagi saya, awalan men- pada kata tengah ini tak ada gunanya dan malah bisa menyesatkan. Dalam hubungan ini, saya jadi ingat sebuah awalan lain yang tidak benar dan sangat tidak berguna. Awalan ini juga tidak dibenarkan KBBI dalam bentuk apa pun. Awalan ini yang ditambahkan kepada kata hujan dalam istilah musim hujan supaya menjadi musim penghujan. Kalau tidak ada musim pemanas, musim pendingin, ataupun musim pemangga, maka tidak ada musim penghujan. Mari kita sebut musim hujan dan golongan tengah saja.

André Möller Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia

3 pemikiran pada “Golongan Menengah

  1. Mas Andre, tulisan yang jeli dan bagus. hanya kalau boleh saya tanya, mengapa mas Andre, di dalam tulisan tersebut memakai kata kami, kok bukan memakai kata saya (untuk penyebutan penulis, dalam awal-awal tulisan di atas? mungkin ada argumennya?
    terima kasih
    salam hormat

  2. Terima kasih, Mas Ahmad. Sejujurnya tidak ada alasan yang jelas mengapa saya pilih kata “kami”… tapi barangkali kadang-kadang kata “kami” bisa dipakai untuk lebih melibatkan pembaca ke dalam pembahasan, karena saya kira bukan saja “saya” yang memiliki anggapan ini, tapi “kami”. Salam dari jauh.

  3. Bagaimana jika kata ‘kami’ diganti dengan kata ‘kita’. Itu terasa lebih tepat dan tak mengurangi tujuan mas Andre. Salam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *