Penjara Hewan

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 17 September, 2016]

Pada suatu hari Pak K mengikuti sebuah seminar kebahasaan di ibu kota. Setelah berjam-jam menyampaikan hal-hal menarik, sang pembawa acara mengajak semua peserta mencicipi jajan yang telah disiapkan sambilmeluruskan kaki sejenak. Pak K jadi merasa gimana gitu lho karena kedua kakinya teramputasi. Mau diluruskan bagaimana?

Pada hari yang lain pemimpin baru di Gembira Loka Zoo di Yogya memutuskan untuk memasang papan baru di depan pintu masuknya. Daripada nginggris secara tidak berdasar, si pemimpin baru memutuskan untuk memakai bahasa Indonesia saja. Maka, di papan yang baru tertulis Kebun Binatang Gembira Loka. Keluarga gajah, yang kebetulan melihat papan itu dan kebetulan juga pandai membaca, jadi merasa gimana gitu lho. ”Tempat ini kok disebut kebun binatang?” tanya Bapak Gajah penuh retorika. ”Bukankah seharusnya disebut penjara hewan?” Komodo dan buaya mengangguk tanda setuju di kejauhan.

Tak lama setelah kedua peristiwa ini, Pak K dan Bapak Gajah secara kebetulan bertemu. Setelah berbincang-bincang sejenak, mereka pun beriktikad untuk mendirikan gerakan yang menuntut pemakaian istilah yang pantas untuk segala sesuatu, dan juga menuntut penghindaran pemakaian istilah yang terasa tidak layak. Ternyata gerakan ini mengisi kekosongan yang telah lama menghantui sejumlah kelompok orang di Indonesia.

Kelompok pertama yang bergegas-gegas bergabung adalah para orang gila. ”Kami bukannya gila dan juga tidak sakit jiwa,” katanya. ”Lebih tepat, kami sedang mengalami masalah psikologis.” Tidak lama kemudian, orang-orang yang sebelumnya disebut penyandang cacat bergabung. ”Panggillah kamidifabel saja,” katanya. Jadi, bukan saja kata cacat yang mesti dihindari, melainkan juga kata-kata berhubungan dengan disabilitas, karena memang bukan ketidakmampuan yang mereka alami. Lebih tepatnya mereka memilikikemampuan khusus, yang merupakan terjemahan dari different ability, yang merupakan kepanjangan dari difabel.

Surat dukungan pun diterima dari kaum eskimo dan gipsi, yang sekarang mau dipanggil iniuit dan rom saja. Barang tentu, orang-orang berkulit hitam pun ikut mendukung gerakan Pak K dan Bapak Gajah ini, dengan penolakan keras terhadap apa yang telah dikenal dengan sebutan kata N. (Ngomong-ngomong, baik neger maupun negro masih terdapat di KBBI tanpa catatan arkais, seperti seharusnya.) Bahkan, sejumlah orang bule dan londo juga ikut bergabung karena mereka merasa memang bukan bulai dan juga bukan orang Belanda.

Nah, ini semua apa sebenarnya? Kejadian dan perkembangan pada cerita singkat di atas mencerminkan baik pengangkatan kehormatan bagi kaum dan kelompok yang selama ini merasa tertindas, maupun apa yang bisa kami sebut sebagai kegelisahan bahasa. Tidak aneh, tetapi pasti wajar, kalau kaum yang merasa selalu direndahkan tingkat kehormatannya, bahkan ditindas, meminta supaya kehormatannya dikembalikan kepada derajat yang mereka anggap pantas. Tidaklah aneh pula kalau proses ini melibatkan sebutan baru (misalnyagipsi diganti rom).

Kegelisahan bahasa, di lain pihak, muncul tidak di kaum yang merasa tertindas, tapi lebih tepatnya di kaum penindas atau setidaknya kaum yang tidak tertindas. Orang-orang ini saking takutnya akan menghina seseorang atau suatu kaum cenderung menghindari semua kata yang berkemungkinan mengandung unsur kehinaan (takut mengucapkan meluruskan kaki, pendatang, dst). Sebagaimana halnya dengan penuntutan pengangkatan kehormatan, kegelisahan bahasa ini bisa juga dianggap wajar. Setidaknya sampai suatu batas. Hanya saja, pengguna bahasalah yang mesti menentukan batasnya itu di mana. Untuk sementara, saya kira tidak salah kalau orang Indonesia secara umum jadi sedikit lebih gelisah, dan lebih memikirkan kaum-kaum minoritas, juga dari segi bahasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *