Roti, Kue, Tar, Pai, Biskuit

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Februari, 2020

Saya ini orang yang gemar membuat kue dan roti, tapi lebih suka lagi membiarkan lidah dan perut menikmatinya. Siapa bisa menolak kue lapis, onde-onde, atau klepon? Yang jelas, bukan saya. Namun, sejak mulai belajar bahasa Indonesia dulu, saya mesti mengaku bahwa kata-kata yang dipakai menggambarkan kelezatan ini kerap membingungkan, dan saya kira bukan saya saja yang begini.

Lanjut membaca

Bahasa RRI

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 28 Januari, 2020

Saya termasuk penggemar siaran radio berkualitas, dan dengan demikian paling menggemari stasiun-stasiun radio penyiaran umum, sebuah konsep yang di negara asalnya- Inggris, melalui BBC- disebut public service. Istilah penyiaran umum ini agak kurang tepat, menurut saya. Barangkali lebih baik menyebutnya pelayanan (untuk) umum, supaya benar-benar digarisbawahi bahwa tujuan utama siaran-siarannya merupakan kepuasan dan kepentingan pendengar, dan bukan kepuasan rezim bertakhta, kepentingan ekonomi dunia komersial atau kelompok sosial tertentu. Radio pelayanan umum harus selalu mandiri dan berdiri kukuh terlepas dari dunia politik dan ekonomi, meski pendanaannya bisa memiliki wajah yang berbeda dari negara ke negara. Di Swedia, Sveriges Radio (Radio Swedia), didanai sepenuhnya oleh pajak, sedangkan di sejumlah negara lain, sebagian pendanaannya bisa berasal dari iklan atau sumbangan.

Lanjut membaca

Unta Arab

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 10 Desember, 2019

Dulu ketika anak perempuan saya masih kecil, salah satu anggota keluarga besar di Jawa naik haji, dan Naima dapat oleh-oleh boneka unta. Ia senang tak kepalang, dan bagaimana tidak? Untanya halus dan lucu. Meskipun unta berkemungkinan besar berasal dari Asia Tengah (Kazakhstan, Mongolia, dan Cina utara), hewan ini sudah jadi lambang kawasan Timur Tengah dan Islam. Berulang kali unta disebut dalam Alquran. Tidak aneh dijadikan oleh-oleh dari tanah suci.

Lanjut membaca

Hemat Kata

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 November, 2019

Tidak jarang saya agak kesal menghadapi semua akronim dan singkatan yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam anggapan saya, cukup sering akronim dan singkatan ini tidak tepat, susah dimengerti dan kadang-kadang bahkan menyesatkan. Selain itu, jumlahnya juga bertambah banyak setiap hari saking gemarnya orang Indonesia menciptakan dan memakainya, dan kita sebagai pengguna awam semakin bingung. Setidaknya saya.

Lanjut membaca

Liburmah

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Agustus, 2019

Beriringan dengan membangkitnya kesadaran bahwa iklim kita dan kesehatan Bumi cukup banyak dipengaruhi oleh emisi dioksida karbon dari alat-alat transportasi (terutama pesawat), muncullah beberapa konsep dan kata yang tergolong baru di Eropa. Lambat laun, kemungkinan besar kata-kata ini akan masuk ke dalam (bahasa) Indonesia juga. Mengingat itu, barangkali pantas kalau kita menengok beberapa alternatif sebelum penutur dan pekamus memeluk dengan erat secara langsung istilah-istilah tersebut dari bahasa-bahasa asing. 

Lanjut membaca

Kok dan Bulu Tangkis

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 6 April, 2019]

Bola bulu tangkis biasa kita sebut kok. Menyebutnya bola sebenarnya terasa agak janggal, sebab kata ini mengisyaratkan benda bulat, jadi cukup praktis ada kata sendiri: kok. Tapi dari mana kata ini berasal? Orang Inggris sering menyebut bola badminton ini shuttle yang merupakan singkatan dari shuttlecock. Kata ini sudah ada sejak bulu tangkis mulai jadi populer di Inggris pada abad ke-19, dan bahasa Indonesianya kok berasal dari bagian terakhir kata ini, yang berarti ‘ayam jantan.’ Dengan demikian shuttlecock bisa diartikan sebagai ‘ayam jantan yang mondar-mandir’, ‘ayam jantan yang hilir-mudik’ atau barangkali ‘ayam jantan yang lalu lalang.’ Setiap orang yang dengan mata capai pernah menonton pertandingan bulu tangkis sudah tahu bahwa bola yang berbentuk khas itu memang bagaikan ayam yang hilir-mudik tanpa tahu lelah. Bola yang asli (tidak berbahan plastik) juga terbuat dari bulu angsa atau bebek, yang dengan mudah dapat menyerupai ayam. Mengapa bahasa Indonesia menyerap shuttlecock dalam bentuk kok, dan bukan syatel (shuttle) ataupun ayam saja, saya tidak tahu. Orang Inggris juga mengenal istilah bird atau birdie sebagai sinonimnya, tapi burung jelas bukan nama lain untuk kok ini.

Lanjut membaca

Bencana Katastropik

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 2 Maret, 2019]

Bahasa yang digunakan di negara yang sering dilanda bencana tentu saja memerlukan sejumlah kata dan istilah terkait bencanaitu. Setelah tahun 2004, kata tsunami, yang berasal dari bahasa Jepang mendunia, jadi bagian dari bahasa Indonesia. Meski begitu, bahasa Aceh telah kenal kata smong sebagai penggantinya. Sampai sekarang, kata yang mencerminkan kearifan lokal ini belum masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata tsunami, di lain pihak, teleh terekam dengan arti “gelombang laut dahsyat (gelombang pasang) yang terjadi karena gempa bumi atau letusan gunung api di dasar laut (biasanya terjadi di Jepang dan sekitarnya)”. Rujukan ke Jepang terasa agak janggal, mengingat dekatnya Indonesia dengan gempa bumi dan tsunami .

Lanjut membaca

Diaspora Lagi

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 21 Juli, 2018]

Dalam rubrik surat pembaca maupun rubrik bahasa ini, kata diaspora akhir-akhir ini cari dan dapat perhatian. Soegio Sosrosoemarto menganggap kata diaspora tidak pas dipakai pada konteks modern sebab, katanya sendiri, terlampau erat hubungannya dengan sejarah kuno kaum Yahudi. Dalam rubrik bahasa, Kasijanto Sastrodinomo memberikan pemahaman atas kata diaspora yang lebih mendalam dan menyeluruh. Menurut Kasijanto, ada perbedaan di antara diaspora dan Diaspora sebab kata yang diawali huruf kapital mengandung pengertian politis, sedangkan yang pertama lebih bersifat umum. Katanya lagi, diaspora mirip dengan perantau meski kata terakhir ini tak mesti ada unsur politiknya.

Lanjut membaca

Anjing Tanah, Anjing Bentala

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 24 Maret, 2018]

Beberapa waktu yang lalu, sebagian orang Indonesia kembali merayakan Tahun Baru Imlek. Media, rumah makan dan pusat perbelanjaan pun tentu saja ikut heboh guna ikut meraih keberuntungan, seperti pada perayaan-perayaan yang lain. Mengingat perayaan Imlek secara terbuka baru diperbolehkan kembali pada waktu Gus Dur menjabat sebagai Presiden, dan baru dikukuhkan sebagai hari libur nasional di bawah kepemimpinan Megawati, maka kenyataan bahwa Imlek semakin hadir di Indonesia adalah hal yang baik. Bahkan, bahwasanya perayaan ini diperbolehkan kembali saja patut dirayakan, seperti semacam kemenangan bagi pemahaman pluralis. Yang keberatan ikut merayakannya karena kuatir dicap macam-macam, saran saya bagi mereka adalah ikut makan-makan saja. Toh, tidak pernah ada salahanya.

Lanjut membaca

Kasar atau (Sok) Akrab?

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Januari, 2018]

Ketika saya mulai belajar Bahasa Indonesia, disampaikan bahwa kamu hanya bisa dipakai dengan kerabat atau saudara yang amat dekat atau dengan anak kecil. Segala penggunaan yang lain dianggap kurang sopan, dan dengan jelas akan memperlihatkan kenyataan bahwa kami, para pelajar, belum memahami bahasa asing ini. Kami disuruh memakai kata Anda atau kata panggilan yang tepat, seperti mbak, mas, bu, pak, dan seterusnya. Kalau kita berkonsultasi dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ajaran ini sepertinya bisa dikatakan tepat. Kamu diartikan sebagai ‘yang diajak bicara; yang disapa (dalam ragam akrab atau kasar)’. Bagian terakhir ini yang penting: akrab atau kasar. Anda, di lain pihak, diartikan KBBI sebagai ‘sapaan untuk orang yang diajak berbicara atau berkomunikasi (tidak membedakan tingkat, kedudukan, dan umur)’. Dengan demikian, lebih amanlah memakai kata Anda.

Lanjut membaca