Trompet Bidadari

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 26 Agustus 2005.]

SUDAH berulang kali dalam kolom Bahasa ini saya mengeluhkan keadaan bahasa Indonesia yang dengan begitu dahsyat dipengaruhi bahasa Inggris masa kini. Supaya tak terlalu menjemukan pembaca, pada kesempatan ini akan saya bela penggunaan bahasa internasional.

Titik awal untuk usaha ini ialah bahasa bunga. Pada abad ke-18 ilmuwan ternama Swedia Carl von Linne (1707-1778) mengatur dan menggolongkan segala tumbuhan ke dalam sebuah sistem yang sangat berguna dan masih terpakai di seluruh dunia. Sistem ini dikedepankan dalam bukunya Systema Naturae ketika Linné berumur 28 tahun. Setelah itu ilmuwan muda ini menghabiskan usianya dengan mengumpulkan tumbuhan dari seluruh dunia supaya dapat diklasifikasi dalam sistem yang telah ia kembangkan itu.

Seperti sudah diisyaratkan judul karya Linne tadi, peneliti tumbuhan ini menulis dalam bahasa Latin. Seperti diketahui setiap pencinta bunga, bahasa Latin tetaplah bahasa internasional dalam dunia tumbuhan. Von Linne sendiri memakai bahasa petani dengan para petani, menggunakan bahasa Latin dengan para cendekiawan.

Meskipun bahasa Latin dapat dikatakan merupakan bahasa internasional dalam bidang ini, bahasa-bahasa lokal pun dipakai. Ini berarti bahwa setiap tumbuhan memiliki setidaknya dua nama dalam setiap lokasi geografis. Maka, si tinggi kuning tidak saja disebut Helianthus annus di Indonesia, tetapi juga disebut bunga matahari. Di Swedia kami sebut mawar matahari (solros), entah kenapa.

Selanjutnya, Capsicum annuum disebut cabai di Indonesia, sedangkan di Swedia ia sering kali diberi nama merica spanyol (spansk peppar) ataupun chili yang terkesan lebih modern. Yang disebut kecubung gunung di Indonesia, yaitu Brugmansia svaveolens yang dapat berguna untuk pelbagai jamu, kami sebut trompet bidadari (änglatrumpet). Bunganya yang besar memang mirip trompet dan secara keseluruhan tumbuhan ini seolah-olah tak sepenuhnya duniawi.

Kemudian nama Indonesia dan Swedia untuk Allium schoenoprasum cukup mirip. Di Indonesia bumbu ini disebut bawang daun, sedangkan di Swedia ia disebut bawang rumput . Saudara bumbu ini, Allium tuberosum, disebut kucai di Indonesia, sedangkan kami menyebutnya bawang rumput cina. Sebuah bumbu enak lainnya kami sebut rumput jeruk , sedangkan orang Indonesia menyebutnya serai. Nama Latinnya Cymbopogon citratus.

Nah, walaupun nama-nama tumbuhan yang dipakai dalam bahasa Indonesia dan bahasa Swedia (yang merupakan bahasa umpama di sini) sering kali sangat saling berbeda, dua orang pencinta bunga dari kedua negara ini tetap dapat berkomunikasi secara bermakna melalui nama-nama Latin. Enaknya punya bahasa internasional yang dengan begitu ketat dan teratur dipakai di dunia tumbuhan tak dapat diremehkan dan sangat berguna. Meski begitu, dalam bahasa-bahasa lokal, terutama-tama nama-nama lokal yang dipakai. Maka, dalam bahasa sehari-hari kita bilang pisang dan bukan Ensete ventricosum, ketumbar dan bukan Coriandrum sativium.

Bayangkan jika cara memakai dua bahasa satu lokal dan satu internasional begini dapat diterapkan dalam berbagai situasi lainnya pula. Kalau begitu, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional bisa mendapatkan peran yang lebih sesuai. Dalam bidang komputer, misalnya, akan sangat berguna jika bahasa-bahasa lokal dipakai secara bersampingan dengan bahasa internasional (Inggris). Sehari-hari bahasa lokal yang dipakai, sedangkan ketika berhubungan dengan orang dari luar negeri istilah-istilah Inggris dapat dipakai. Dalam situasi seperti itu, bahasa Inggris dapat berguna dalam komunikasi di antara, misalnya, seorang Indonesia dan seorang Yunani.

Namun, ketika seorang Indonesia berbicara dengan seorang saudara, tentu saja bahasa Indonesialah (atau bahasa lokal lainnya) yang dipakai. Save menjadi menyimpan, cut menjadi menggunting, tools menjadi peralatan dan seterusnya. Sepertinya, masih banyak bidang yang dapat menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia dengan cara demikian, baik guna memperlancar hubungan dengan orang non-Indonesia maupun untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia.

Kesimpulannya, bahasa bunga memang merupakan bunga bahasa juga. Mari kita petik kearifannya.

Penulis Sedang Menggarap Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Landskrona, Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *