Ihwal KBBI Edisi Keempat

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 3 Juli 2009.]

Setiba di rumah mertua di Blora beberapa saat lalu, ada hadiah berat yang menunggu saya: Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Kamus yang terdiri atas lebih dari 1.700 halaman ini sudah barang tentu menarik perhatian pakar bahasa di Indonesia. Telah diadakan pula sejumlah seminar dan sudah ditulis sejumlah makalah yang membahasnya dari pelbagai sudut. Tak jarang, sebagian dari pembahasan ini merupakan keluhan, entah itu keluhan atas kualitas kertas (yang lebih bagus daripada edisi-edisi terdahulu), harga (yang sering kali dinilai terlalu tinggi), entah penjelasan yang diberikan pada kata-kata tertentu. Sebagian orang merasa ada kata-kata dalam khazanah kebahasaan Nusantara yang belum masuk ke dalam kamus yang terdiri atas lebih dari 90.000 lema dan sublema ini.

Sebelum saya sampaikan keluhan ringan saya, yang sebetulnya lebih bersifat renungan pribadi, harus saya sampaikan pujian tak terhingga kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan kamus ini. Sungguh hebat bahwasanya sebuah bahasa yang baru ”lahir” kurang dari 100 tahun yang lalu (Soempah Pemoeda, 1928) dan baru diakui pada tahun 1945 telah terekam dalam sebuah kamus adikarya seperti yang terletak di depan saya sekarang ini. Saya membungkuk dan bersalut (walau kata terakhir belum termasuk dalam arti ini di KBBI).

Keluhan atau renungan pertama saya berhubungan dengan tanah air saya, Swedia, yang sedikit dianaktirikan dalam kamus akbar ini. Waktu jadi mahasiswa di Yogya, saya bangga ketika Presiden (kala itu) Abdurrahman Wahid menyajikan sebuah kata ”baru” ke dalam bahasa Indonesia: ombudsman. Dikatakannya pada kesempatan itu, kata ini ia serap dari bahasa Swedia. Betul, kata ini merupakan kata asli Swedia, dan tak aneh kalau seorang mahasiswa Swedia di Jurusan Bahasa Indonesia terlihat dengan dada melembung pada hari itu.

Kata ombudsman terekam di KBBI edisi baru di bawah ”Kata dan Ungkapan Asing” (hlm 1605) dengan dua penjelasan yang sesuai dengan arti aslinya. Sejauh itu, semuanya baik-baik dan sah-sah saja. Namun, jika diamati dengan cermat, akan kelihatan tiga huruf miring di depan penjelasan ini: Ing. Maksudnya adalah bahwa kata ombudsman berasal dari bahasa Inggris. Ini jelas penyimpangan dari jalan bahasa yang lurus. Yang ragu-ragu hubungi Gus Dur.

Swedia juga diperlakukan dengan sedikit aneh di daftar ”Nama Negara, Ibu Kota, Bahasa, dan Mata Uang” (hlm 1661). Selain ibu kota dieja dengan salah (seharusnya Stockholm), bahasa Swedia dinamakan ”Swensk”. Kata itu terdengar aneh di telinga seorang Swedia. Sejauh yang saya tahu, bahasa saya ini disebut bahasa Swedia dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Swedia sendiri, bahasanya disebut svenska. Dalam daftar ini memang ada sejumlah kejanggalan (seperti apakah bahasanya mau disebut dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokalnya), tetapi ini merupakan yang paling aneh yang saya jumpai.

Renungan terakhir saya (pada kesempatan ini) berkaitan dengan judul kamus ini. Saya belum memahami dengan betul judulnya. Terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa Edisi Keempat (misalnya hlm xxix, xxxi), dan terkadang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (hlm vii), dan terkadang seolah-olah mau disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (misalnya hlm i dan sampul). Menurut saya, alternatif terakhir paling afdal, tetapi saya kira alternatif pertama yang paling sering dipakai. Saya bertanya-tanya: ke mana perginya Pusat Bahasa edisi-edisi terdahulu? Dan mengapa mesti dimutakhirkan?

ANDRÉ MÖLLER Penyusun Kamus Swedia-Indonesia, Tinggal di Swedia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *