Kedwibahasaan

SEPANJANG sejarah, manusia suka bepergian melintasi baik perbatasan geografis maupun perbatasan bahasa dan kebudayaan. Maka, kontak kebahasaan sudah jadi bagian (penting) dari sejarah manusia. Sebagai lanjutan dari keadaan itu, sejumlah orang dari dulu mempelajari bahasa asing dan berdwibahasa, atau malah beranekabahasa.

Di Eropa masalah bahasa secara umum dan masalah kedwibahasaan secara khusus diaktualkan kembali dengan terbentuknya Uni Eropa dan berlakunya kebebasan gerak dan kebebasan bekerja (di negeri lain) di dalam uni itu. Orang Perancis yang menganggur di negerinya bisa merantau ke Yunani dan mencari pekerjaan di situ, sedangkan orang Yunani dengan situasi yang sama dapat mengadu nasib di Swedia. Walau mungkin tidak dapat pekerjaan, si perantau pasti mendapat sedikit-banyak pengetahuan tentang bahasa setempat. Keadaan ini ditambah dengan orang asing-terutama pengungsi-yang datang untuk menetap selamanya. Maka, negeri-negeri Eropa sudah tidak ada yang memiliki keadaan bahasa yang sepenuhnya homogen.

Di banyak wilayah di Afrika dan Asia, kedwibahasaan atau keanekabahasaan sudah jadi biasa. Di Indonesia saja bisa dipastikan: kebanyakan orang bisa berbahasa Indonesia dan setidaknya satu bahasa daerah. Di masa penjajahan, sebagian juga dapat berbahasa Belanda. (Di berbagai negeri Afrika, bahasa-bahasa penjajah Eropa, terutama bahasa Perancis, masih jadi bahasa komunikasi.)

Meski kedwibahasaan sudah mendaging darah di Nusantara, saya amati orang Indonesia sering tak begitu peduli terhadap masalah ini. Kedwibahasaan dianggap tidak perlu diperhatikan sebab dengan sendirinya anak-anak berdwibahasa. Bahasa Indonesia diajarkan di sekolah dan melalui media masa, sedangkan bahasa daerah diajarkan di rumah, dan nanti ini semua ditambah dengan bahasa Inggris dan bahasa Arab atau bahasa apa saja.

Akan tetapi, kenyataannya tidak segampang itu. Anak-anak di Nusantara, sejauh yang saya amati dan pahami, sering diajarkan bahasa secara tak konsisten. Di rumah maupun di sekolah, bahasa yang digunakan kerap tidak hanya satu. Keadaan ini sendiri sebetulnya tidak apa-apa; sebaliknya sangat bermanfaat bagi anak-anak jika mereka mendengar lebih dari satu bahasa sejak kecil. Hanya saja, penggunaannya harus konsisten.

Metode pertama yang dikemukakan supaya anak-anak di kemudian hari jadi mahir berdwibahasa adalah yang dalam bahasa Perancis disebut une personne, une langue (Grammont 1902) ’satu orang, satu bahasa’. Metode ini baik diterapkan di keluarga yang orang tuanya memakai lebih dari satu bahasa. Seorang ayah dari Jawa bisa pakai bahasa Jawa dengan anaknya, sedangkan ibu yang dari Bali dapat memakai bahasanya sendiri dengannya. Yang penting, orang tua konsisten dan tidak campur-campur bahasanya jika berbicara dengan anaknya supaya anak dapat membeda-bedakan bahasa-bahasa yang diajarkan kepadanya. Metode lain mengusulkan supaya suatu keluarga memakai bahasa minoritas di rumah dan bahasa mayoritas di luar rumah.

Metode ini bisa diterapkan oleh sebuah keluarga Bali yang bertempat tinggal di Jawa Barat misalnya. Ayah dan ibu memakai bahasa Bali di rumah dengan anak-anak, sedangkan bahasa Jawa (dan nanti bahasa Indonesia) diajarkan di luar rumah. Dengan metode ini, kekonsistenan juga sangat penting supaya anak-anak tidak bingung.

Nah, kembali ke permasalahan di Indonesia. Yang sering dapat diamati adalah bahwa orang-orang mengeluh tentang kekurangmahiran mereka memakai bahasa Indonesia maupun bahasa daerahnya. Dan lebih sering lagi, orang mencampur kedua bahasa itu ketika berbicara, dan mereka mencampur begitu tanpa pengetahuan mereka sendiri. Dengan kata lain, pencampuran terjadi tidak disadari dan ini kurang baik. Di lain pihak, kalau bahasa- bahasa dicampurkan secara sadar, bahasa dapat diperkaya bahasa lain. Yang penting, ini semua terjadi secara sadar dan konsisten agar tidak menimbulkan kebingungan dan, lebih lagi, kesalahan.

Akhirnya, sebuah usulan untuk orang tua: berbahasa dengan konsisten dengan anak-anak supaya mereka nanti jadi orang yang berdwibahasa secara sadar.

ANDRÉ MÖLLER Mahasiswa S3 Universitas Lund, Swedia

Satu pemikiran pada “Kedwibahasaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *