Dia Salat?

PEKAN lalu Ayatrohaédi menyuguhkan uraian menarik di forum ini mengenai mufrad dan jamak. Ditunjukkannya bahwa kosakata yang berasal dari luar Nusantara sering keliru digunakan dalam bahasa (di) Indonesia. Salah satu contoh ialah ucapan “semoga arwah almarhum diterima di sisi Tuhan”. Di sini digunakan bentuk jamak, seolah-olah sang mendiang memiliki lebih dari satu jiwa. Sebaliknya, dapat kita catat bentuk mufrad, yaitu ruh, terkadang diulang dalam bentuk ruh-ruh untuk menyatakan jamak.

Dalam bahasa Indonesia sering kali dijumpai kosakata asing yang bentuk kata kerjanya berbeda dari aslinya. Malah, kadang-kadang kata benda digunakan sebagai kata kerja, dan kata kerja sebagai kata benda. Kata salat, yang tentu berasal dari bahasa Arab, dapat kita jadikan contoh pertama. Yang lazim dipakai di Indonesia adalah bentuk kata benda. Oleh karena itu, ucapan seperti “dia mau mendirikan salat” dapat kita anggap cukup sesuai dengan tata bahasa aslinya.

Akan tetapi, kalimat yang sering didengar seperti dia mau salat, dia akan salat, atau malah dia salat harus kita perhatikan lebih lanjut. Apakah kata kerja bantu (mau, akan) bisa langsung diikuti kata benda dalam bahasa Indonesia? Tidak. Kalimat yang berbunyi dia akan pisang harus kita anggap tidak betul karena kekurangan kata kerja. Di antara akan dan pisang harus ada kata kerja: mengambil, makan, membeli, menjual, dan sebagainya.

Kata ganti pribadi dia tidak juga dapat diikuti kata benda. Kalau kita mengatakan dia pohon, pendengar akan menganggap kita aneh dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana seseorang bisa berupa pohon. Lagi-lagi kita kekurangan kata kerja: memiliki, menebang, menggambar, dan lain-lain. Maka, ucapan “dia salat” juga tidak sesuai dengan tata bahasa yang benar jika kita anggap salat sebagai kata benda.

Ketika orang Islam hendak bersembahyang, mereka menyatakan niat: usalli fardla subhi untuk subuh. Bentuk usalli yang terdapat di sini ialah bentuk kata kerja yang benar menurut bahasa Arab dan artinya ’mendirikan salat’. Dalam bahasa Arab, orang yang mendirikan salat itu dinamakan musallin, sedangkan tempat yang ia gunakan diberi nama musallan ’musala’.

Pemakaian bahasa Inggris setali tiga uang. Ketika masuk biro perjalanan, misalnya, kita pasti ditanyai “Apakah sudah booking?” atau “Anda mau booking?” setelah menyatakan keinginan bepergian. Pertama kali diadang dengan pertanyaan semacam itu, saya sempat terperenyak. Kata sudah mengisyaratkan ada proses yang telah berlalu; kata mau menunjuk ke masa depan; sedangkan booking adalah kata kerja aktif untuk masa sekarang. Di dalam pertanyaan tadi terdapat ketegangan yang menimbulkan masalah bahasa.

Kalau mau memakai bentuk bahasa Inggris yang benar, si penanya seharusnya bilang: “Apakah (Anda) sudah booked?” atau “Anda mau book sekarang?” Waktu tiketnya sedang dipesan, ia dapat menggunakan bentuk pertama: “Saya sedang booking sekarang.” Lantaran bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk tempus seperti ini, saya kira lebih baik lagi kalau dia memakai bentuk yang tepat dari kata dasar pesan ketimbang kata Inggris book.

Dua contoh ini kiranya sudah mengungkapkan permasalahannya: kata-kata yang berasal dari luar Nusantara sering kali digunakan secara tidak betul menurut tata bahasa aslinya. Namun, dua pertanyaan penting harus kita ajukan di sini. Apakah pemakaian bahasa seperti itu kekeliruan, kesalahan, atau malah pembaruan? Apakah ini semua bersifat kekhilafan atau malah kreativitas bahasa?

Pertanyaan seperti ini tidak mudah dijawab, tetapi penting dibahas. Yang pasti, pertanyaan terakhir tadi tidak mungkin dapat diajukan kalau kita tidak memakai kosakata dari luar Nusantara dalam bentuk tata bahasa yang sesuai dengan bahasa (di) Indonesia. Baik kata kekhilafan maupun kreativitas dapat dijadikan saksi atas keadaan itu.

ANDRÉ MÖLLER Sedang menyusun disertasi tentang Bulan Ramadan di Indonesia, tinggal di Lund, Swedia

Satu pemikiran pada “Dia Salat?

  1. Saya kira Pak Moller, dalam hal berbahasa, orang Indonesia (khususnya orang Jawa)itu tidak ingin repot dalam berbahasa, cenderung malas mengurai perkataan yang panjang. Mereka seringkali asal mengambil kosakata bahasa asing semaunya, asalkan penutur dan pendengarnya saling memahami. Bukti lainnya adalah kegemaran mereka dalam menggunakan singkatan untuk istilah-istilah yang panjang. Susilo Bambang Yudhoyono menjadi SBY. Dalam bahasa Jawa pun demikian, sampai yang sudah pendek pun masing dipepatkan lagi, semisal ana ing jadi ning. Saya lupa istilah penyingkatan ini dalam bahasa Jawa. Anda yang pernah tinggal di Jogja pasti cukup akrab dengan kegemaran orang Jawa menyingkat bahasa. Tapi seperti kata Anda, kreativitas di sini saya kira juga memainkan peranannya. Ini pendapat saya, jika ada kesalahan mohon dikoreksi.

    Jadi kapan kita jjs ke Paris? Eh, maksud saya kapan kita jalan-jalan santai ke Parang Tritis?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *