Huru-hara

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 7  Juni, 2013.]

Setelah media Indonesia berberita mengenai kerusuhan yang terjadi di pinggiran Stockholm akhir-akhir ini, saya menerima beberapa surel dan pesan melalui media sosial dari kawan-kawan di Indonesia yang ikut prihatin terhadap situasi kemananan di Swedia secara umum dan terhadap keamanan kami sebagai keluarga secara khusus. Rumah kami kebetulan jauh lebih dekat dengan ibukota Denmark daripada ibukota Swedia, jadi kami selamat-selamat saja dari kekacauan yang mengguncang Stockholm pada awal musim panas ini.

Bahwasanya kerusuhan ini berasal dari politik migrasi dan integrasi yang mesti dianggap gagal dalam beberapa aspek tertentu, tentulah tidak perlu dibahas dalam sebuah kolom bahasa. Bahwasanya bukannya kehadiran polisi dalam jumlah yang lebih banyak yang bakal berhasil memulihkan situasi di pinggiran Stockholm, melainkan perhatian politik yang ikhlas dari pusat yang diperlukan, juga tak pantas disinggung di sini. Toh, ini bukan kolom (kritik) politik.

Kata apa yang bisa kami bahas secara singkat di sini? Yang ingin saya angkat adalah kata huru-hara. Kata huru tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (KBBI), tetapi jika kata hara dicari maka akan ditemukan dua lema. Lema pertama merujuk kepada seekor ikan air tawar yang panjangnya sekitar 60 sentimeter, dan lema kedua merujuk kepada “zat yang diperlukan tumbuhan atau hewan untuk pertumbuhan (…)”. Dengan kata lain, kata huru-hara rupanya terdiri dari dua kata yang satunya malah tidak meruapakan kata sama sekali dalam Bahasa Indonesia, dan yang kedua tidak memiliki koneksi yang mudah terlihat pada kata huru-hara.

Kata ini sendiri diberi arti “keributan; kerusuhan; kekacauan” dalam KBBI dan memang itulah yang melanda ibukota tanah air saya akhir-akhir ini. Menariknya, hura-hura berarti “senang-senang; gembira ria” atau “pesta pora”, tetapi ini tentu saja masalah lain lagi. Nah, dari mana kata huru-hara ini berasal? Terus terang, saya tidaklah yakin, tapi saya kira kami tetap berhak mendiskusikannya sejenak di sini. Rupanya, vokal atau huruf hidup terkadang dapat terbang dan saling tukar posisi dalam bahasa Indonesia, dan tidak jarang terdapat sejenis permainan vokal dalam kata ulangan, seperti mondar-mandir, bolak-balik, asal-usul dan seterusnya.

Jangan heran bahwa huru-hara juga mengalami semacam permainan huruf hidup. Dengan demikian, dapat kami kira bahwa ada hubungan di antara huru-hara dengan haru, tetapi tidak dalam arti “rawan hati (kasihan, iba, dsb)” melainkan dalam arti kedua, yang nota bene adalah “kacau”. Baik KBBI maupun karyanya Eko Endarmoko yang sangat berguna berjudul Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) memberi catatan bahwa kata ini memiliki asal-usul di tanah Minangkabau. Jika huru-hara di-Google, kita juga dengan cepat dapat melihat bahwa kata ini sering muncul dalam Bahasa Melayu di Malaysia.

Di bawah lema haru biru di TBI kami temukan huru-hara sebagai salah satu sinonimnya, dan KBBI memberi arti “kerusuhan, keributan, kekacauan, huru-hara” untuk haru biru ini. Bagaimana warna biru dapat masuk dalam ucapan ini masih merupakan misteri bagi saya, tapi saya yakin sejumlah pembaca akan mencerahkan saya setelah mereka membaca kolom ini. Ketika menulis kolom-kolom bahasa ini, saya memang lebih banya belajar dibandingkan mengajarkan sesuatu.

Ngomong-ngomong, bukankan kata berberita yang terlihat dalam alinea pertama dalam kolom bahasa ini terlampau jarang dipakai?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *