Kata Yang (Nyaris) Punah


[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Mei, 2019] K

Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan istilah Bahasa Swedia yang sudah lama tidak saya dengar, yakni radiokaka. Artinya secara harfiah ‘kue radio’, dan, jika dilihat sekilas, komposisi kata ini kelihatan tak masuk akal. Dalam konteks tertentu, istilah ini terasa wajar dan waras, muncul setelah Perang Dunia II ketika televisi belum masuk Swedia secara luas, pada masa orang haus warta ataupun hiburan. Radio memenuhi kebutuhan ini.

Radio tak tersua di setiap rumah tangga pada zaman itu; orang cenderung berkumpul mendengarkan radio bersama-sama. Saat seperti itu barang tentu semua orang perlu agak diam agar kawan-kawannya bisa jelas mendengarkan suara si penyiar radio. Kurang afdal bila tak ada jajan untuk menemani hiburan atau warta yang keluar dari radio. Maka, lahirlah radiokaka tadi, kue basah yang enak dimakan bersama-sama yang-dan ini yang terpenting-tidak menyebabkan suara yang mengganggu orang lain ketika dimakan. Amat cocok untuk kesempatan seperti yang digambarkan di atas. Kini, kata radiokaka sudah kehilangan relevansinya dan katanya nyaris punah.

Para penyimak bahasa sering terfokus pada kata-kata baru; dengan demikian, kata-kata yang kehilangan relevansinya itu kian gampang terperosok ke dalam jurang kelupaan untuk kemudian nyaris punah. Tentu kita perlu kata-kata baru untuk menutupi kebutuhan kebahasaan yang kian cepat berubah. Namun, sesekali juga menarik menengok ke belakang. Terkadang kata-kata yang nyaris punah itu mungkin perlu kita tinggalkan selamanya, tapi terkadang kita bisa menyelamatkannya dan memberinya relevansi baru.

Salah satu istilah atau kata yang dari dulu sangat saya sukai dalam bahasa Indonesia, adalah kereta angin. Sampai sekarang saya belum pernah mendengar orang memakai kata ini sehari-hari. Saya yakin banyak orang tak tahu apa kereta angin ini. Nyaris punah! Kereta angin adalah kata lain untuk sepeda; satu sinonim lainnya: lereng. Keduanya terekam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Nah, mungkin gampang membiarkan istilah ini tenggelam di samudra kata-kata kuno yang tak relevan lagi, tapi bila dipikir lebih lanjut, kita masih pakai kereta api. Kereta api digerakkan oleh api; kereta angin digerakkan, secara parsial setidaknya, angin.

Kata lain yang belum lama lahir tapi hampir punah ialah warnet (warung inernet). Dua puluh tahun yang lalu tiap kota di Indonesia kebanjiran warnet, tapi kini situasi ini berubah drastis ketika nyaris saat nyaris tiap orang memiliki internet nirkabel dalam saku berupa telepon seluler. Sebelum warnet, wartel (warung telekomunikasi), yang jadi primadona yang populer dan dibutuhkan. Kini wartel tak kelihatan lagi. Dua kata ini terancam punah.

Kata-kata yang terasa modern pada zaman ini, seperti nirkabel, bisa mengalami perkembangan yang sama. Soalnya, dalam waktu dekat, tak susah diprediksi, setiap gawai atau barang elektronik bersifat nirkabel. Katanya sendiri bisa kehilangan relevansinya kalau begitu.

Akhir kata, kata-kata yang (nyaris) punah itu sebenarnya tak mati. Mereka hanya istirahat, sampai ada yang kuat menyelamatkannya dan memberinya relevansi baru jika perlu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *