Hemat Kata

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 November, 2019

Tidak jarang saya agak kesal menghadapi semua akronim dan singkatan yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam anggapan saya, cukup sering akronim dan singkatan ini tidak tepat, susah dimengerti dan kadang-kadang bahkan menyesatkan. Selain itu, jumlahnya juga bertambah banyak setiap hari saking gemarnya orang Indonesia menciptakan dan memakainya, dan kita sebagai pengguna awam semakin bingung. Setidaknya saya.

    Nah, ketika saya menyampaikan kesan itu, penjelasan yang mesti saya terima setiap kali adalah ini: orang Indonesia ini pada dasarnya malas dan ingin mencari kemudahan dalam berbahasa. Kata-kata bahasa Indonesia, katanya, terlalu panjang dan rumit dengan segala pre- dan sufiksnya. Orang gampang patah lidah, jelasnya lebih lanjut. (Padahal, pikir saya dalam kalbu, bukankah akronim seperti Kemenpolhukam, Wanhankamnas atau satpolantas justru bisa membahayakan kesehatan lidah?) Tanpa mengeluh lagi, lama-lama saya hampir menerima penjelasan ini yang begitu sering sudah saya simak. 

    Cuma hampir menerima? Biar saya jelaskan. Beberapa saat yang lalu, saya duduk di dapur saya di Swedia, minum kopi flores sambil menyaksikan pelantikan Presiden Joki Widodo untuk periode keduanya. Di luar daun berguguran, dan di dalam suara pembawa acara seperti tidak mau berhenti. Ini tentu saja merupakan siaran langsung, dan si pembawa acara barangkali gugup, tapi amat jelas bahwa dia sama sekali tidak khawatir memakai kata secara berlebihan. Sebaliknya. Entah berapa kali pada hari itu saya mendengar kalimat seperti “Ini acara pelantikan dari Presiden Jokowi”, “Di sana duduk para tamu-tamu” dan “Istri dari wakil Presiden ini…” dan seterusnya. Dalam contoh pertama dan ketiga ini, kata dari tentu saja lewah, dan bahkan bikin kalimatnya keliru, sedangkan dalam kalimat kedua, si pembawa acara semestinya memilih para tamu atau tamu-tamu. Penggabungan (para tamu-tamu) jelas mubazir. Ke mana perginya keinginan orang Indonesia untuk menghemat kata dan mempermudah komunikasi? Itulah bukti pertama bahwa penjelasan yang saya sampaikan di atas tidak bisa diterima begitu saja. 

    Setelah itu, saya jadi ingat papan-papan di pinggir jalan tol di Jawa Tengah yang kami sekeluarga melewati beberapa bulan yang lalu: “Kurangi kecepatan bila turun hujan”. Kira-kira apa fungsi turun pada kalimat itu? Kalau hujan, ya hujannya pasti turun, kan? Tidak mungkin hujan naik. Ini satu bukti lagi bahwa orang Indonesia itu tidak begitu terfokus pada penghematan kata, atau ingin sekali mempermudah komunikasi dengan mempersingkat kalimat. “Kurangi kecepatan bila hujan” sudah cukup dan benar. Dan lebih singkat. 

    Bukti ketiga: kalau orang Indonesia itu begitu peduli dengan bahasa yang singkat, mudah dan jelas, mengapa mereka (kalian!) begitu tergila-gila pada gelar? Cukup sering juga kita melihat nama seseorang didahului oleh, misalnya, H. Prof. Dr. dan diikuti oleh MA, BA, dan seterusnya. Padahal, kami hanya ingin cari seseorang yang bisa mendengarkan nafas kita dan barangkali menulis resep obat. Kalau orang Indonesia adalah pencari bentuk singkat dalam segala hal, maka mungkin sudah lebih dari cukup mempertahankan gelar dokternya saja dalam hal ini. 

    Dengan demikian, sudah jelas bahwa gagasan yang menyatakan bahwa menjamurnya singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia adalah akibat dari keinginan para penuturnya untuk mempermudah penggunaan bahasa Indonesia, dan bahwa keinginan ini pada dasarnya merupakan bentuk kemalasan, adalah tidak benar. Sekarang saya menunggu penjelasan yang lain. Silakan. 

Tidak jarang saya agak kesal menghadapi semua akronim dan singkatan yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam anggapan saya, cukup sering akronim dan singkatan ini tidak tepat, susah dimengerti dan kadang-kadang bahkan menyesatkan. Selain itu, jumlahnya juga bertambah banyak setiap hari saking gemarnya orang Indonesia menciptakan dan memakainya, dan kita sebagai pengguna awam semakin bingung. Setidaknya saya.

    Nah, ketika saya menyampaikan kesan itu, penjelasan yang mesti saya terima setiap kali adalah ini: orang Indonesia ini pada dasarnya malas dan ingin mencari kemudahan dalam berbahasa. Kata-kata bahasa Indonesia, katanya, terlalu panjang dan rumit dengan segala pre- dan sufiksnya. Orang gampang patah lidah, jelasnya lebih lanjut. (Padahal, pikir saya dalam kalbu, bukankah akronim seperti Kemenpolhukam, Wanhankamnas atau satpolantas justru bisa membahayakan kesehatan lidah?) Tanpa mengeluh lagi, lama-lama saya hampir menerima penjelasan ini yang begitu sering sudah saya simak. 

    Cuma hampir menerima? Biar saya jelaskan. Beberapa saat yang lalu, saya duduk di dapur saya di Swedia, minum kopi flores sambil menyaksikan pelantikan Presiden Joki Widodo untuk periode keduanya. Di luar daun berguguran, dan di dalam suara pembawa acara seperti tidak mau berhenti. Ini tentu saja merupakan siaran langsung, dan si pembawa acara barangkali gugup, tapi amat jelas bahwa dia sama sekali tidak khawatir memakai kata secara berlebihan. Sebaliknya. Entah berapa kali pada hari itu saya mendengar kalimat seperti “Ini acara pelantikan dari Presiden Jokowi”, “Di sana duduk para tamu-tamu” dan “Istri dari wakil Presiden ini…” dan seterusnya. Dalam contoh pertama dan ketiga ini, kata dari tentu saja lewah, dan bahkan bikin kalimatnya keliru, sedangkan dalam kalimat kedua, si pembawa acara semestinya memilih para tamu atau tamu-tamu. Penggabungan (para tamu-tamu) jelas mubazir. Ke mana perginya keinginan orang Indonesia untuk menghemat kata dan mempermudah komunikasi? Itulah bukti pertama bahwa penjelasan yang saya sampaikan di atas tidak bisa diterima begitu saja. 

    Setelah itu, saya jadi ingat papan-papan di pinggir jalan tol di Jawa Tengah yang kami sekeluarga melewati beberapa bulan yang lalu: “Kurangi kecepatan bila turun hujan”. Kira-kira apa fungsi turun pada kalimat itu? Kalau hujan, ya hujannya pasti turun, kan? Tidak mungkin hujan naik. Ini satu bukti lagi bahwa orang Indonesia itu tidak begitu terfokus pada penghematan kata, atau ingin sekali mempermudah komunikasi dengan mempersingkat kalimat. “Kurangi kecepatan bila hujan” sudah cukup dan benar. Dan lebih singkat. 

    Bukti ketiga: kalau orang Indonesia itu begitu peduli dengan bahasa yang singkat, mudah dan jelas, mengapa mereka (kalian!) begitu tergila-gila pada gelar? Cukup sering juga kita melihat nama seseorang didahului oleh, misalnya, H. Prof. Dr. dan diikuti oleh MA, BA, dan seterusnya. Padahal, kami hanya ingin cari seseorang yang bisa mendengarkan nafas kita dan barangkali menulis resep obat. Kalau orang Indonesia adalah pencari bentuk singkat dalam segala hal, maka mungkin sudah lebih dari cukup mempertahankan gelar dokternya saja dalam hal ini. 

   Dengan demikian, sudah jelas bahwa gagasan yang menyatakan bahwa menjamurnya singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia adalah akibat dari keinginan para penuturnya untuk mempermudah penggunaan bahasa Indonesia, dan bahwa keinginan ini pada dasarnya merupakan bentuk kemalasan, adalah tidak benar. Sekarang saya menunggu penjelasan yang lain. Sila.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *