Amin

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Majalah Tempo, edisi 8 Agustus 2020

Beberapa saat yang lalu, istri saya terima tulisan doa di media sosial. Sebagai orang sopan sekaligus beradab, ia menjawabnya dengan amin. Entah karena merasa sok suci, entah lantaran masuk golongan “kiai dadakan” (yang akhir-akhir ini sepertinya tumbuh subur), si pelantun doa merasa wajib menggurui istri saya itu karena menurut dia, amin tersebut keliru, bahkan mungkin salah besar. Istri saya ngeyel, kemudian minta dukungan dari saya. Saya pun mendukung.

Masalah amin ini tentu bukan masalah baru, tapi masih berlanjut. Tidak susah mencari orang, koran atau situs yang “menjelaskan” bahwa amin itu keliru dan semestinya tertulis aamiin. Amin, katanya, berarti “aman” atau “tenteram”, sedangkan aamiin dengan arti “kabulkanlah (doa)”. Ini mesti kita sikapi bagaimana?

Pertama-tama, kita bisa bertanya secara retoris apakah kita sedang berbahasa Arab atau Indonesia. Kalau jawabannya Indonesia, dan itu sebenarnya sudah pasti, maka kita bisa minta dukungan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai patokan bahasa. Di dalam KBBI, hanya ada amin dengan penjelasan “terimalah; kabulkanlah; demikianlah hendaknya (dikatakan pada waktu berdoa atau sesudah berdoa)”. Ada pula catatan bahwa bentuk tidak baku adalah amien, yang tentu kita hindari. Cuma, amiin atau aamiin tak hanya tidak baku, tapi juga tidak dapat dijumpai sama sekali dalam kamus akbar ini.

Kalau sudah begitu, kita bisa menjelaskan bahwa bahasa Indonesia menyerap banyak sekali kosakata “asing”, tapi ini bukan berati kata-kata itu diambil secara utuh atau tidak mengalami penyesuaian atau perubahan ketika diserap. Lihat saja kata akbar yang saja pakai di atas dengan arti “besar” (sesuai dengan KBBI). Dalam bahasa Arab, akbar itu berarti “lebih besar”, bentuk komparativ dari kabir (atau kabiir kalau mau taat). Kabir dalam bahasa Indonesia, di pihak lain, hanya dipakai berhubungan dengan salah satu nama Allah, yakni “mahabesar”. Dengan kata lain, proses penyerapan mengakibatkan perubahan makna.

Nah, kita bisa juga bertanya apakah orang yang ngotot memakai aamiin itu pernah mendirikan salat. Mungkin jawabannya “iyalah”. Tapi, supaya konsisten, bukankah sebaiknya dia mendirikan salaah, bukan salat? Barangkali ada yang bertanya dalam kalbu, mengapa saya selalu menulis mendirikan (menunaikan, mengamalkan) salat? Jawabnya sederhana: salat itu kata benda dalam bahasa Indonesia (dan Arab). Kata kerjanya adalah bersalat.

Ngomong-ngomong mengenai kata kalbu, itu juga serapan dari bahasa Arab (qalbu). Namun, jangan bilang bahwa kalbu Anda terluka di depan kiai dadakan. Sebab, jika setaat tampilannya, mungkin dia akan menyuruh Anda ke dokter hewan karena kalbu dalam bahasa Ara berarti “anjing”.

Kembali lagi ke kekeliruan. Orang yang berkeras memakai aamiin sudah bisa dipastikan puasa pada bulan Ramadan. Padahal semestinya Ramadaan (dan huruf d-nya semestinya juga diberi tanda supaya bisa dibedakan dengan dal biasa). Jika dipikir-pikir lagi, mungkin malah semestinya ramadaan sebab bahasa Arab tidak mengenal huruf kapital.

Dan… apakah tepat orang yang ingin menampilkan diri sebagai orang yang suci dan agamais berpuasa? Kata puasa ini memiliki akar Sanskerta (upavasa) dan ikatan erat pada agama Hindu. Dengan nada yang sama, kita bisa bertanya apakah pantas orang yang sama mengharapkan surga dari semua amalannya ini? Soalnya, surga pun memiliki latar belakang bahasa Sanskerta (svarga atau swarga) dan tali hubungan dengan konsep ketuhanan Hindu. Svarga atau swarga adalah salah satu loka atau tingkat esoteris tertinggi dalam agama Hindu (maka bahasa Indonesia juga mengenal kata surgaloka dengan arti “kayangan; surga”). 

Secara lebih luas, kita bisa berargumentasi bahwa demokrasi di Indonesia bisa dipahami walaupun kita menyerapnya tidak secara utuh dari bahasa Belanda dalam bentuk democratie, apalagi dari bahasa Yunani: demos (“rakyat”) dan kratia (“kekuasaan”). Kata-kata “baru” yang diserap KBBI dari bahasa Inggris, seperti kes (“tunai”, dari cash) dan kensel (“membatalkan”, dari cancel), juga tidak dipungut seutuhnya, tapi mengalami proses penyesuaian. Kes dan kensel ini masih diberi tanda cak (“percakapan”) dalam KBBI, tapi kita bisa menduga bahwa cap ini akan menghilang pada edisi-edisi baru. Saya pribadi tidak mengerti mengapa kata seperti ini perlu diserap. Sebab, sudah ada padanan yang jelas dan tepat dalam bahasa Indonesia. Tapi itu masalah lain lagi.

Akhirulkata, tentu saja orang Islam bisa menjalankan puasa dan mengharapkan surga meskipun kedua kata ini berasal dari bahasa dan konteks agama lain. Alasanya, penyerapan mengakibatkan perubahan dan penyesuaian makna. Dengan demikian, orang Indonesia juga bisa mengucapkan amin setelah mendengarkan doa yang dilafalkan dalam bahasa apa pun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *