Salah Satu Rumah Menangis

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 14 November 2008.]

Di koran Kompas edisi ”daring” (dalam jaringan), kalimat seperti ini dapat dibaca beberapa jam menjelang pemilihan umum Amerika Serikat: ”Rumah yang pernah ditempati oleh salah satu calon presiden AS, Barrack Obama di kawasan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat sedang berduka.” Ini kalimat pertama dalam suatu artikel. Tak jarang pembaca tak sempat membaca semua artikel di koran dan, karena itu, ia merasa cukup hanya membaca judul berita dan satu atau dua kalimat pertama.

Kira-kira apa yang terjadi di benak pembaca jika dia berhenti membaca artikel tadi setelah kalimat pertama? Kendala bahasa pertama yang muncul setelah meletakkan koran ialah salah satu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu berarti 'satu di antara yang ada'. Jika ucapan salah satu digunakan, pasti ada lebih dari satu hal, barang, atau orang yang terlibat dalam pembahasan. Calon presiden AS memang ada dua, tapi setahu saya hanya satu di antaranya yang pernah bertempat tinggal di Jakarta, yaitu Pak Obama. Dengan demikian, salah satu dalam kalimat di atas tidak ada fungsinya sama sekali.

Tentu bukan hanya Kompas yang melakukan kekeliruan seperti ini. Sebaliknya, kegalatan sejenis cukup biasa terjadi pada koran lain. Masalah ini juga mirip dengan soal kebahasaan lain, yaitu perbandingan. Cukup sering saya membaca mengenai hal-hal yang lebih besar, lebih banyak pilihannya, lebih keren, dan seterusnya, tapi tidak jarang tidak disebut apa yang jadi patokan perbandingan. Lebih banyak pilihannya daripada apa? Lebih keren daripada apa? Siapa yang sudi membeli sepeda motor baru hanya karena lebih keren jikalau belum tahu lebih keren daripada apa?

Kembali ke laptop. Rintangan kebahasaan kedua dalam kalimat itu (selain pemakaian tanda koma, tapi masalah itu bisa kita abaikan sekarang) adalah pertanyaan siapa yang sedang berduka. Siapa, ya? Menurut logika kalimat di atas, yang sedang berduka ialah rumah yang pernah ditempati Pak Obama. Saya meragukan kemampuan sebuah rumah mengungkapkan perasaan begitu. Kalaupun bisa, kira-kira apa yang ditangisi si rumah? Atap bocor gara-gara hujan yang kelewatan? Salah satu kacanya pecah? Tumbuhan di halamannya tak berkembang dengan subur? Merindu pada si Barack semasa dia kecil? Tidak. Rumah di atas sedang berduka karena sang pemilik rumah meninggal dunia, seperti dinyatakan dalam kalimat kedua artikel yang sedang dibahas. Saya masih meragukannya, tapi sudahlah.

Terpeleset kulit pisang dalam berbahasa gampang sekali dan itu sering terjadi dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Berhubungan dengan hari kasih sayang beberapa tahun silam, dikatakan bahwa sebuah toko sepeda motor memasang papan besar di jendelanya: ”Hadiah langsung bagi pembeli cewek hari ini!” Wah, siapa yang mau membeli cewek? Kira-kira apa hadiahnya? Ngomong-ngomong, tentu sebuah toko tidak bisa memasang papan!

Dua contoh terakhir ini bisa dibilang salah mengacu, kurang jelas, atau malah menyesatkan. Apakah arti ”Bebas rokok” yang tertulis pada sebilah papan? Apakah lingkungan di sekitarnya daerah yang bebas dari asap rokok dan semua kegiatan yang berhubungan dengannya, ataukah ini daerah yang pemiliknya menyambut dengan gembira kegiatan rokok-merokok? Apakah daerahnya harusnya bebas dari rokok, atau bebas dari larangan merokok?

Andre Moller Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *