Jeruk Bali

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 26 Mei, 2020

Belum lama ini saya mendapatkan jeruk bali di Swedia, seolah-olah kejatuhan durian. Saya pun bergegas-gegas pulang dan menjelaskan kepada anak-anak bahwa buah ini adalah jeruk bali, bukan jeruk Bali apalagi Jeruk Bali. Mereka kelihatan bingung. Saya lanjutkan: Ya, sama seperti bahwa di kota eyang dan kakung tidak pernah ada sate Blora melainkan hanya sate blora. Mereka kelihatan lebih bingung lagi.

Lanjut membaca

Tambah Kecil

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 31 Maret, 2020

Salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang sejak dulu menggelikan imajinasi saya adalah tambah kecil. Barangkali kedua kata ini sering kita ucapkan tanpa direnungkan dulu maknanya, tapi itu tidak berarti masalah ini bisa dilewatkan begitu saja. Terdapat kontradiksi di dalam istilah ini, karena tambah atau menambah mengandung makna perluasan atau pembesaran (atau sejenisnya), sedangkan kecil berlawanan dengan hal itu. Menambah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘menjadikan (membubuhkan dan sebagainya) supaya lebih banyak (besar, hebat, dan sebagainya)’. Susah membayangkan seseorang yang sedang membuat sesuatu lebih besar, tapi hasilnya malah makin kecil.

Lanjut membaca

Roti, Kue, Tar, Pai, Biskuit

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Februari, 2020

Saya ini orang yang gemar membuat kue dan roti, tapi lebih suka lagi membiarkan lidah dan perut menikmatinya. Siapa bisa menolak kue lapis, onde-onde, atau klepon? Yang jelas, bukan saya. Namun, sejak mulai belajar bahasa Indonesia dulu, saya mesti mengaku bahwa kata-kata yang dipakai menggambarkan kelezatan ini kerap membingungkan, dan saya kira bukan saya saja yang begini.

Lanjut membaca

Bahasa RRI

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 28 Januari, 2020

Saya termasuk penggemar siaran radio berkualitas, dan dengan demikian paling menggemari stasiun-stasiun radio penyiaran umum, sebuah konsep yang di negara asalnya- Inggris, melalui BBC- disebut public service. Istilah penyiaran umum ini agak kurang tepat, menurut saya. Barangkali lebih baik menyebutnya pelayanan (untuk) umum, supaya benar-benar digarisbawahi bahwa tujuan utama siaran-siarannya merupakan kepuasan dan kepentingan pendengar, dan bukan kepuasan rezim bertakhta, kepentingan ekonomi dunia komersial atau kelompok sosial tertentu. Radio pelayanan umum harus selalu mandiri dan berdiri kukuh terlepas dari dunia politik dan ekonomi, meski pendanaannya bisa memiliki wajah yang berbeda dari negara ke negara. Di Swedia, Sveriges Radio (Radio Swedia), didanai sepenuhnya oleh pajak, sedangkan di sejumlah negara lain, sebagian pendanaannya bisa berasal dari iklan atau sumbangan.

Lanjut membaca

Unta Arab

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 10 Desember, 2019

Dulu ketika anak perempuan saya masih kecil, salah satu anggota keluarga besar di Jawa naik haji, dan Naima dapat oleh-oleh boneka unta. Ia senang tak kepalang, dan bagaimana tidak? Untanya halus dan lucu. Meskipun unta berkemungkinan besar berasal dari Asia Tengah (Kazakhstan, Mongolia, dan Cina utara), hewan ini sudah jadi lambang kawasan Timur Tengah dan Islam. Berulang kali unta disebut dalam Alquran. Tidak aneh dijadikan oleh-oleh dari tanah suci.

Lanjut membaca

Hemat Kata

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 November, 2019

Tidak jarang saya agak kesal menghadapi semua akronim dan singkatan yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam anggapan saya, cukup sering akronim dan singkatan ini tidak tepat, susah dimengerti dan kadang-kadang bahkan menyesatkan. Selain itu, jumlahnya juga bertambah banyak setiap hari saking gemarnya orang Indonesia menciptakan dan memakainya, dan kita sebagai pengguna awam semakin bingung. Setidaknya saya.

Lanjut membaca

Liburmah

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 Agustus, 2019

Beriringan dengan membangkitnya kesadaran bahwa iklim kita dan kesehatan Bumi cukup banyak dipengaruhi oleh emisi dioksida karbon dari alat-alat transportasi (terutama pesawat), muncullah beberapa konsep dan kata yang tergolong baru di Eropa. Lambat laun, kemungkinan besar kata-kata ini akan masuk ke dalam (bahasa) Indonesia juga. Mengingat itu, barangkali pantas kalau kita menengok beberapa alternatif sebelum penutur dan pekamus memeluk dengan erat secara langsung istilah-istilah tersebut dari bahasa-bahasa asing. 

Lanjut membaca

Sabotase dan Sandalisme

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 29 Juni, 2019

Asal-usul kata sabotase agak kabur. Yang jelas, kata ini berasal dari bahasa Perancis: sabot adalah ‘sepatu kayu’ yang banyak dipakai  petani dan orang-orang tak berpunya. Salah satu teori yang sering dikemukakan ialah bahwa para pekerja kasar membuang sepatu mereka ke dalam mesin,  merusaknya, pada awal zaman industrialisasi sebagai protes atas ketakadilan yang mereka alami. Kemungkinan besar ini  mitos belaka sebab tak masuk akal orang miskin bersedia mengorbankan sepatunya begitu saja. Gampang pula mencari pelakunya.

Lanjut membaca

Kata Yang (Nyaris) Punah


[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Mei, 2019] K

Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan istilah Bahasa Swedia yang sudah lama tidak saya dengar, yakni radiokaka. Artinya secara harfiah ‘kue radio’, dan, jika dilihat sekilas, komposisi kata ini kelihatan tak masuk akal. Dalam konteks tertentu, istilah ini terasa wajar dan waras, muncul setelah Perang Dunia II ketika televisi belum masuk Swedia secara luas, pada masa orang haus warta ataupun hiburan. Radio memenuhi kebutuhan ini.

Lanjut membaca

Kok dan Bulu Tangkis

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 6 April, 2019]

Bola bulu tangkis biasa kita sebut kok. Menyebutnya bola sebenarnya terasa agak janggal, sebab kata ini mengisyaratkan benda bulat, jadi cukup praktis ada kata sendiri: kok. Tapi dari mana kata ini berasal? Orang Inggris sering menyebut bola badminton ini shuttle yang merupakan singkatan dari shuttlecock. Kata ini sudah ada sejak bulu tangkis mulai jadi populer di Inggris pada abad ke-19, dan bahasa Indonesianya kok berasal dari bagian terakhir kata ini, yang berarti ‘ayam jantan.’ Dengan demikian shuttlecock bisa diartikan sebagai ‘ayam jantan yang mondar-mandir’, ‘ayam jantan yang hilir-mudik’ atau barangkali ‘ayam jantan yang lalu lalang.’ Setiap orang yang dengan mata capai pernah menonton pertandingan bulu tangkis sudah tahu bahwa bola yang berbentuk khas itu memang bagaikan ayam yang hilir-mudik tanpa tahu lelah. Bola yang asli (tidak berbahan plastik) juga terbuat dari bulu angsa atau bebek, yang dengan mudah dapat menyerupai ayam. Mengapa bahasa Indonesia menyerap shuttlecock dalam bentuk kok, dan bukan syatel (shuttle) ataupun ayam saja, saya tidak tahu. Orang Inggris juga mengenal istilah bird atau birdie sebagai sinonimnya, tapi burung jelas bukan nama lain untuk kok ini.

Lanjut membaca