Swafoto dan Dirian

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 20 Desember 2014.]

Jikalau pembaca yang budiman berkunjung ke Borobodur atau Prambanan sepuluh tahun yang lalu, pembaca bakal melihat wisatawan yang sibuk mencermati relief-relief kuno dan dengan teliti mendengarkan ilmu dan pengetahuan yang keluar dari mulut-mulut para pemandu, guru dan mahaguru. Rasa ketakjuban mengalami secara langsung kedua keajaiban kebudayaan Nusantara ini terasa sangat kental. Ada rasa bangga bercampur dengan keheranan. Tercenganglah, para wisatawan tadi. Dan wajarlah, hal tersebut.

Lanjut membaca

Kunci Inggris

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 13 September, 2014.]

KUNCI inggris bukan saja alat kecil untuk membuka atau mengancing pintu atau peti buatan Inggris, melainkan juga ”kunci yang dapat disetel untuk mengepaskan kepala baut atau mur”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ketika kali pertama saya mendengar ayah mertua saya menyebut alat berguna ini kunci inggris, saya agak kaget karena saya berpikir ini adalah perkakas yang berasal dari tanah air saya, Swedia. Rasa nasionalisme di dalam dada ingin memprotes, tetapi akal sempat mengalahkan lidah kala itu. Untung saja, karena ternyata tidak semudah yang saya kira.

Lanjut membaca

Kol Bunga dan Spidbot

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 9 Agustus, 2014.]

Berhubung dengan salah satu tulisan saya di koran ini belum lama ini, seorang kawan menanyakan bentuk yang mana yang saya anggap benar: ”kali pertama” atau ”pertama kali”. Dalam tulisan itu memang tertulis ”kali pertama”, yang menunjukkan susunan kata yang tidak selumrah ”pertama kali”. Lanjut membaca

Ramadan dan Idulfitri

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 Juli, 2014.]

Tamu tahunan nan agung yang selalu dinantikan umat Islam kini mengetuk hati nurani kita lagi. Dari pagi sampai malam, orang saleh dan saleh-salehan akan menghindari makanan lezat, minuman menyegarkan, pengucapan kata-kata tak terpuji, perbuatan keji, dan bahasa Indonesia yang tidak atau kurang benar. Spamduk (lihat kolom ”Bahasa” terbitan 18 Januari tahun ini) akan mengotori ruang publik dengan sejumlah ucapan dan pesan moril, dan barangkali tingkat korupsi akan menurun sedikit untuk waktu terbatas. Masjid-masjid akan dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menunaikan salat sunah walaupun sehari-hari mereka jarang melangsungkan salat wajib. Ya, bulan puasa datang lagi.

Lanjut membaca

Bakal dan Calon Lagi

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 7 Juni, 2014.]

Belum lama ini saya membaca istilah “bakal calon Presiden” di beberapa koran, berhubungan dengan pasar Presiden yang sedang diramaikan di Indonesia. Pertama-tama, kelihatan agak janggal, ganjil, dan bersifat mengada-ada. Akan tetapi, setelah direnungkan beberapa saat, saya berubah pikiran dan memahami istilah ini sebagai salah satu bentuk daya cipta bahasa Indonesia yang baik berguna maupun cukup cerdas.

Lanjut membaca

Maraton

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 3 Mei, 2014.]

Beberapa bulan yang lalu, saya ikut sebuah lomba lari maraton untuk kali pertama. Lomba ini berlangsung pada malam hari pada musim gugur di Swedia. Jadi, teman paling setia selama 42,2 kilometer adalah kegelapan, kesunyian dan kedinginan. Selain sempat meragukan kesehatan mental saya berulang kali selama lebih dari 3,5 jam, saya juga sempat memikirkan kata maraton sendiri.

Lanjut membaca

Saudara-saudara!

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 5 April, 2014.]

Saudara-saudara! Apakah pembaca yang budiman bisa saya anggap saudara saya? Ya bisa, karena salah satu arti saudara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sapaan kepada orang yang diajak berbicara”. Sejujurnya, kita tidak sedang berbicara di sini, tapi tidak salah kalau dikatakan bahwa kalian saya sapa dalam tulisan sederhana ini. Barangkali lebih tepat kalau kata berbicara dalam penjelasan KBBI tadi diganti berkomunikasi, sebab penjelasan seperti itu juga akan meliputi sapaan tertulis. Namun, bukan itu yang akan jadi pokok pembahasan di sini.

Lanjut membaca

Spamduk

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 17 Januari, 2014.]

KIRANYA susah membayangkan suatu bangsa yang lebih menggemari spanduk daripada bangsa Indonesia. Ada kumpulan spanduk di setiap sudut jalan. Tiada peristiwa, hal, atau keadaan yang tidak bisa digarisbawahi oleh spanduk. Ada spanduk berisikan ucapan selamat (Selamat Natal! Selamat Lebaran! Dirgahayu RI! Selamat Datang!), pesan politik (Pilihlah aku! Hentikan korupsi! Saya bisa menyejahterakan Anda!), pesan moral (Shalat sebelum dishalatkan! Patuhilah aturan lalu lintas! Hormatilah penganut agama lain!), ajakan (Hadirilah seminar ini!), iklan (Minumlah produk ini! Belilah pulsa sebanyak-banyaknya!), dan lain-lain. Di dunia maya pun situasinya sama: di setiap layar ada spanduk digital yang menyampaikan sejumlah pesan yang jauh lebih sering mengganggu daripada bermanfaat.

Lanjut membaca

Daerah (Tak Begitu) Istimewa

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 23 November, 2013.]

Dalam imajinasi populer, Yogyakarta sering menjelma sebagai penegak sekaligus pembela kebudayaan dan bahasa. Di sekitar alun-alun utaralah, bahasa Jawa dalam bentuk paling halus dapat didengarkan, dan di sekitar alun-alun selatanlah kesenian-kesenian Jawa bisa disaksikan dalam bentuk paling sempurna. Pas rasanya ketika Kongres Kebudayaan Indonesia belum lama ini berlangsung di Yogyakarta dan mengumpulkan lebih dari lima ratus budayawan dari seluruh Nusantara. Barangkali para budayawan ini sangat ingin menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana kebudayaan dan bahasa berkembang, dibela dan dihayati di kota ini.

Lanjut membaca