Kaburan Setankah?

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 25 Agustus 2006.]

Fatwa ormas Islam terbesar sedunia terhadap acara-acara teve yang menyiarkan gunjingan mengenai para orang ternama di Indonesia, sempat mengacaukan dunia hiburan dan sekaligus dunia keagamaan akhir-akhir ini. Fatwa Nahdlatul Ulama ini diarahkan kepada infotainment, yang dengan demikian menjadi dan dijadikan setan terbaru di negeri ini. Tapi, seperti diketahui, jika ada setan pasti ada pembelanya, yang mengaku itu bukan setan tapi yang lebih terhormat. Sudahlah, itu bukan masalah utama di sini.

Kata infotainment ini ternyata sudah meng-Indonesia, meski terdiri dari dua kata asing, yakni information (informasi) dan entertainment (hiburan). Terus terang, saya sedikit kecewa dengan dipertahankannya kata ini, dan sebentar lagi para pembaca akan disuguhkan sebuah alternatif. Pemakai bahasa Indonesia biasanya tidak tanggung-tanggung menciptakan akronim baru ataupun menafsirkan sebuah singkatan lama dengan cara yang baru dan kreatif. Penafsiran baru bisa dicontohkan oleh singkatan SMS yang diartikan sebagai ”surat-menyurat singkat” (meski berasal dari short message service) dan ATM yang diartikan sebagai ”anjungan tunai mandiri” (meski berasal dari automatic teller machine). Ini menunjukkan tingkat kekreatifan yang tinggi, dan sekaligus mencerminkan kedua kegunaan utama sebuah bahasa, yaitu (1) mengomunikasikan sesuatu, dan (2) membuat penuturnya dan lawan bicaranya tersenyum di hati.

Mari kita kembali ke dunia hiburan lagi, dan lebih tepatnya kepada kata infotainment. Cukup jelas bahwa kata ini dipertahankan dan dipakai oleh karena kekerenannya (yang juga merupakan hal maya, tentunya). Lagi pula, bahasa hiburan di Indonesia memang cukup dekat dengan bahasa Inggris (sebagaimana bahasa agama semakin dekat dengan bahasa Arab, tapi itu masalah lain lagi), dan siapa saja yang tidak memakai beberapa istilah tertentu dalam bahasa Inggris pasti cepat dinilai ketinggalan zaman.

Meski yang bertanda tangan di bawah ini ialah seorang bulé (walau bukan bulai alias albino), saya tetap mau memperkenalkan suatu kata baru yang bisa menggantikan kata infotainment di Indonesia. Sebetulnya bukan kata baru, tapi hanya sebuah penafsiran baru atas kata lama. Kata dan penafsiran apakah itu? Kaburan. Kata kaburan ini harap diartikan sebagai gabungan di antara ”kabar” (information) dan ”hiburan” (entertainment). Yang disebut infotainment itu kan memang berawal dari sedikit informasi atau kabar, yang kemudian dikaburkan ke dalam bentuk hiburan sampai (hampir) tak dikenal lagi. Maka, lahirlah kaburan. Kabar kabur.

Yang diharapkan NU dengan fatwa ini bukan punahnya semua acara teve yang mengisahkan kehidupan orang-orang ternama di Indonesia. Dengan lebih merendah, NU hanya berharap bahwa acara-acara ini akan lebih peka terhadap isi acaranya dan lebih menjaga kepribadian orang-orang yang dikisahkan. Maka, sebuah acara imajiner bernama ”Periksa dan Periksa Kembali”, misalnya, harap mengubah visi dan misinya dari ”Mengaburkan dan Mengaburkan Lagi” ke ”Menyensor dan Menyensor Lagi”. Dan yang disensor di sini bukanlah kehidupan orang yang dikisahkan melainkan daya mengada-ada para wartawan. Sebetulnya cukup gampang.

Masih ada satu hal yang mengganjil. Jika dilihat dari jumlah acara kaburan yang ada di Indonesia dan jika dijumlah jam tayangannya per minggu, maka tidak terlalu susah menarik kesimpulan bahwa penonton Indonesia sangat menggemari acara-acara ini. Dan kalau acara ini sekarang mengubah isinya supaya tidak terlau kabur lagi, apakah ini tetap akan dinilai sebagai hiburan oleh para pemirsa? Apakah mungkin acara infotainment ini tidak mengandung penghinaan dan pergunjingan? Apakah akan diminati? Apakah akan dianggap hiburan? Apakah akan diturunkan martabatnya menjadi berita? Mengingat bahwa NU ialah organisasi terbesar di Indonesia yang sangat berpengaruh, sedikit susah meramalkan masa depan. Dan memang, itu bukan urusan utama kita di sini. Kita hanya mengingat pepatah Swedia lama: Jangan gambarkan setan di dinding! (Yakni jangan mengharapkan dan menggambarkan yang jelek-jelek dulu.)

/André Möller

3 pemikiran pada “Kaburan Setankah?

  1. gibah itu..
    dzaman nabi ada orang yg menggibah n tercium lah bau busuk yg sangat..tpi dzman kita sekrang saking banyakx orang yg menggibah sampai2 tdk dpt membedakan mana bau busukx lagi…
    salam kenal ^^
    kunjungan balik sangat diharapkan

  2. Menggunjing -kata ini mulai dibunuh dengan istilah menggosip- kejelekan orang lain itu memang harus ditinggalkan. Jika memang benar kejelekan itu maka tidak ada gunanya dan malah dosa, jika tidak benar jadi fitnah! Anehnya di Indonesia yang menggunjing dan yang menonton gunjingan sama-sama bersemangat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *