Wisata, Wana & Tirta

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 4 Agustus, 2020

Sejak wabah menimpa dunia pada awal tahun ini, kepariwisataan berubah drastis. Karena sedang mustahil berwisata dengan aman, cukup kami renungkan beberapa kata wisata saja untuk sementara. KBBI mengartikan wisata sebagai verba dengan makna: ‘berpergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dsb),’ ‘bertamasya’; dan ‘piknik’. Selain aneh bahwa wisata adalah verba (semestinya nomina menurut saya, dan Tesamoko setuju), aneh pula bahwa seorang diri tak mungkin berwisata, sebab mesti dilakukan bersama-sama. (Fenomena piknik pernah saya bahas di sini pada Agustus 2017.) 

Berdekatan dengan wisata ada pariwisata yang dijelaskan KBBI sebagai ‘yg berhubungan dng perjalanan untuk rekreasi; pelancongan; turisme’ dan disebut sebagai nomina. Karena Tesamoko anggap wisata juga sebagai nomina, ia menyinonimkannya dengan pariwisata. Asal-usul kedua kata ini harus dicari dalam bahasa Sanskertanya pravasita, dan kemungkinan besar kata wisata dalam bahasa Indonesia hanyalah singkatan dari pariwisata (de Casparis: 1997). Lebih aneh lagi menganggap satunya sebagai verba dan satunya lagi sebagai nomina. 

Terdapat sejumlah jenis wisata, misalnya wisata alam (‘perjalanan yg memanfaatkan potensi sumber daya alam dan tata lingkungannya sbg objek tujuan wisata’), wisata kuliner (‘wisata yg dilakukan untuk meniknati aneka ragam masakan dr berbagai daerah’), dan wisata rohani (‘wisata untuk menambah, memperkaya, memperkuat iman, spt ziarah ke tempat suci’). Jenis-jenis wisata ini terasa lumrah secara kebahasaan, sebab mengikuti kaidah tata bahasa yang jelas. 

Yang menarik perhatian saya dari awal adalah wanawisata. Jenis wisata ini bukan saja ditulis secara serangkai, tapi juga diakhiri (bukan dimulai seperti yang lain) dengan kata wisata. Sejujurnya, sebelumnya saya tak tahu wana itu artinya ‘hutan’. Usulnya lagi-lagi bahasa Sanskerta (dalam bentuk vana). Jadi, wanawista adalah ‘wisata yg tujuan atau sasarannya adalah hutan’. Mengapa tak disebut wisata wana, saya tak paham. Saya mencoba meyakinkan diri dengan mengatakan mungkin lebih pas kalau dua kata yang berasal dari bahasa Sansekerta tetap mengikuti susunan kata aslinya. Pendapat ini segera gugur. 

Tirta juga berasal dari bahasa Sanskerta (tirtha), dan maknanya adalah ‘air’. Dalam agama Hindu, tirta sering dipahami sebagai air suci atau bahkan sebagai tempat suci secara lebih luas, tapi dalam bahasa Indonesia ia hanya direkam sebagai air (apa saja). Nah, mengingat bentuk wanawisata tadi, kami tak akan heran kalau ada tirtawisata juga, yakni bentuk wisata yang memfokus pada air dalam suatu bentuk. Namun, mencari tirtawisata dalam kamus akan mengecewakan. Sebaliknya, yang mencari wisata tirta akan merasa beruntung. KBBI menjelaskannya sebagai ‘kegiatan wisata yg berhubungan langsung dng air atau dilakukan di perairan pantai, danau, dan sebagainya’. 

Mski bentuk wanawisata dan wisata tirta bisa membuat pusing seseorang yang merenungkannya, saya akan memakainya saat wabah selesai. Ngapain di Bali? Wisata tirta. Kok ke Kalimantan lagi? Wanawisata, dong. Setidaknya orang yang pernah membaca kolom ini akan menangkap maksud saya. Semoga segera terwujud. 

/André Möller



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *