Kompas dan Bentara

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 1 September, 2020

Dua bulan lalu, Harian Kompas merayakan hari jadinya (28 Juli, 1965) dan kini sudah berusia 55 tahun. Setahu saya, kata kompas sendiri belum dibahas di kolom Bahasa. Harian yang sudah dikenal baik dari Sabang sampai Merauke itu, bahkan di luar negeri, nyaris saja tidak dinamakan Kompas. Nama yang telah disiapkan tahun 1965 itu adalah Bentara Rakyat, tetapi Soekarno, Presiden kala itu, memilliki gagasan yang lain dan mengusulkan nama Kompas: “Aku akan memberi nama yang lebih bagus… Kompas. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba” (Kompas, 2020-06-28). 

    Kompas menurut KBBI adalah ‘alat untuk mengetahui arah mata angin (berbentuk seperti jam yang berjarum besi berani yang menunjuk arah utara dan selatan), dan ‘pedoman arah’. Kompas ditemukan Dinasti Han di Tiongkok abad ke-3, tapi baru mulai dipakai sebagai alat navigasi 800 tahun kemudian. Di dunia Barat dan Islam baru tercatat dari abad ke-13.

    Kata kompas sendiri diserap ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda (kompas) yang menyerapnya dari bahasa Perancis Kuno (compas, ‘lingkaran, bundaran’), yang menyerapnya dari bahasa Latinnya com (‘bersama’) dan passus (‘langkah, rute, jalan’). Kata kompas sekarang terdapat di sejumlah bahasa Eropa (seperti bahasa Inggris, Swedia, Polandia dan Jerman). Walau kata ini berlatar bahasa Perancis Kuno, bahasa Perancis modern tidak mengenal kata kompas, melainkan boussole. Bentuk ini tercatat pula dalam bahasa Eropa lainnya (seperti Portugal dan Italia), dan juga merupakan bentuk yang dipakai oleh orang Arab (busulah). 

    Sneddon (The Indonesian Language, 2003) mengatakan bahwa bahasa Indonesia tidak menyerap banyak kata dari bahasa Sanskerta yang terkait dengan kemaritiman. Dia berargumentasi, ini menunjukkan bahwa bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara ini sudah mahir di dunia kelautan waktu orang India berdatangan ke Asia Tenggara. Saya berusaha mencari kata “asli” Melayu atau Indonesia dengan arti ‘kompas’ tapi tidak berhasil. Saya juga tak berhasil menemukan bukti bahwa orang Indonesia menggunakan kata yang berasal dari bahasa Cina atau bahasa Arab untuk menggambarkan alat navigasi ini. Apakah ini menunjukkan bahwa pelaut Nusantara tidak menggunakan kompas sebelum orang-orang Eropa berdatangan? Entah. Barangkali ada pembaca kolom ini yang bisa mencerahkan keburaman ini.

    Nah, kembali ke Bentara Rakyat lagi, yang hampir jadi nama koran ini. Waktu membacanya pertama kali secara kilat, saya kira usulan namanya adalah Lentera Rakyat. Ini usul yang masuk akal dan bisa dimaklumi. Lentera pun bisa memberi pedoman arah dan mencerahkan. Bentara Rakyat, di lain pihak, saya anggap agak aneh. Bentara itu ‘pembantu raja yang bertugas melayani dan menyampaikan titah raja atau membawa alat-alat kebesaran kerajaan’. Jadi, bentara mengabdi kepada raja. Mungkin dulu maksudnya dengan bentara rakyat menggambarkan seseorang (atau, lebih tepat, sesuatu) yang mengabdi kepada rakyat. Hanya saja, ke mana perginya raja dan kerajaan dalam penafsiran ini?

    Akhirnya, harus diakui bahwa pemberian nama Kompas kepada sebuah koran langkah brilian. Semoga ia tetap akan memberi arah supaya rakyat Indonesia bisa mengarungi lautan dan hutan rimba dengan aman setidaknya 55 tahun lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *