Kompas dan Bentara

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 1 September, 2020

Dua bulan lalu, Harian Kompas merayakan hari jadinya (28 Juli, 1965) dan kini sudah berusia 55 tahun. Setahu saya, kata kompas sendiri belum dibahas di kolom Bahasa. Harian yang sudah dikenal baik dari Sabang sampai Merauke itu, bahkan di luar negeri, nyaris saja tidak dinamakan Kompas. Nama yang telah disiapkan tahun 1965 itu adalah Bentara Rakyat, tetapi Soekarno, Presiden kala itu, memilliki gagasan yang lain dan mengusulkan nama Kompas: “Aku akan memberi nama yang lebih bagus… Kompas. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba” (Kompas, 2020-06-28). 

Lanjut membaca

Amin

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Majalah Tempo, edisi 8 Agustus 2020

Beberapa saat yang lalu, istri saya terima tulisan doa di media sosial. Sebagai orang sopan sekaligus beradab, ia menjawabnya dengan amin. Entah karena merasa sok suci, entah lantaran masuk golongan “kiai dadakan” (yang akhir-akhir ini sepertinya tumbuh subur), si pelantun doa merasa wajib menggurui istri saya itu karena menurut dia, amin tersebut keliru, bahkan mungkin salah besar. Istri saya ngeyel, kemudian minta dukungan dari saya. Saya pun mendukung.

Lanjut membaca

Wisata, Wana & Tirta

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 4 Agustus, 2020

Sejak wabah menimpa dunia pada awal tahun ini, kepariwisataan berubah drastis. Karena sedang mustahil berwisata dengan aman, cukup kami renungkan beberapa kata wisata saja untuk sementara. KBBI mengartikan wisata sebagai verba dengan makna: ‘berpergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dsb),’ ‘bertamasya’; dan ‘piknik’. Selain aneh bahwa wisata adalah verba (semestinya nomina menurut saya, dan Tesamoko setuju), aneh pula bahwa seorang diri tak mungkin berwisata, sebab mesti dilakukan bersama-sama. (Fenomena piknik pernah saya bahas di sini pada Agustus 2017.) 

Lanjut membaca