Vegetarir

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 8 Maret, 2022]

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya tidak makan daging selama beberapa tahun. Alasannya sederhana: saya merasa jijik menyantap hewan. Waktu itu, tidak begitu gampang jadi seorang vegetarian di Swedia karena tidak banyak produk makanan yang dikhususkan kepada golongan orang ini.

Di Indonesia pun repot. Jika saya hanya makan tahu, tempe, dan sayuran, sering dikira karena alasan ekonomis. Sebagian penjual pun merasa kasihan dan kasih sedikit tambahan berupa daging, yang sama sekali tidak ingin saya makan. Kalau saya menemukan daging di bungkusan sesampainya di kontrakan, daging tersebut (maaf) saya kasih kepada kucing-kucing di kampung, sedangkan saya menyimpan sayurannya buat saya sendiri.

Di kampus saya di Caturtunggal ada koperasi yang menyediakan soto ayam pada pagi hari. Sebelum kuliah, saya sering sarapan di situ, tapi selalu minta soto tanpa ayam. Terkadang dituruti, tapi terkadang dikasih sedikit ayam juga. Sepertinya, si ibu penjual tidak tega tidak memasukkan potongan ayam. Padahal, dari awal saya sudah menyatakan akan bayar harga normal.

Kemudian, karena berbagai alasan, perlahan-lahan saya mulai makan daging lagi, dan saya menikmati sate kambing, rendang, ayam goreng, dan kawan-kawannya selama bertahun-tahun. Namun, sekitar setahun yang lalu, saya memutuskan untuk hanya makan makanan vegetarian selama sebulan. Setelah itu saya tidak bisa mulai makan daging lagi. Lagi-lagi, alasannya karena merasa jijik. Anak saya yang perempuan sudah jadi vegetarian selama bertahun-tahun.

André Möller, Penyusun Kamus Swedia-Indonesia
DOK PRIBADI André Möller, Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Nah, mari kita tengok istilah-istilah yang berhubungan dengan vegetarisme. (Iya, KBBI mencantumkan kata vegetarisme, tapi tidak vegetarianisme, yang menurut saya lebih pas.) Istilah paling umum, tentu saja vegetarian, yang menurut KBBI adalah ’orang yang (karena alasan keagamaan atau kesehatan) tidak makan daging, tetapi makan sayuran dan hasil tumbuhan’. Ini adalah pemahaman yang cukup luas dan bersifat umum.

Selain itu, cukup aneh bahwa kamus hanya merujuk kepada orang yang tidak makan daging. Dengan penjelasan ini, kita tidak bisa mengatakan restoran vegetarian atau makanan vegetarian, misalnya.

Kata vegan juga diberi penjelasan yang mirip, yakni ’orang yang tidak makan daging, ikan, produk susu, atau telur’. Lagi-lagi, hanyalah orang yang dirujuk. Veganisme disebut merupakan ’filosofi atau gaya hidup yang tidak mengonsumsi daging, ikan, produk susu, atau telur’, sedangkan vegetarisme adalah ’paham yang menyatakan berpantang makan makanan hewani, tetapi hanya makan makanan nabati’. Cukup lucu bahwa veganisme adalah filosofi yang tidak makan daging. Sampai sekarang, saya belum menemukan filosofi atau gaya hidup apa pun yang biasa makan atau minum.

André Möller, Penyusun Kamus Swedia-Indonesia
DOK PRIBADI André Möller, Penyusun Kamus Swedia-Indonesia

Kata terakhir yang disebut dalam KBBI adalah vegetarir yang bersinonim dengan vegetarian. Saya tidak tahu dari mana kata ini berasal, dan tak pernah mendengarnya.

Di Swedia sekarang ada banyak istilah untuk menyebut orang yang menghindari jenis-jenis makanan tertentu. Seorang vegetarian lakto, misalnya, mengonsumsi makanan vegetarian, tapi dengan tambahan produk susu. Seorang vegetarianlakto ovo, juga makan telur. Selanjutnya, seorang pesketarian juga mengonsumsi makanan bahari. Akhirnya, seorang flexitarian masih mengonsumsi semua jenis makanan, tapi berusaha mengurangi bagian dagingnya.

Dalam bahasa Inggris, ada pula istilah climatarian, yaitu seorang yang dalam segala hal berusaha untuk mengurangi ukuran jejak kaki ekologisnya di dunia ini. Bahasa Indonesianya barangkali iklimwan atau iklimarian, yaitu seorang yang selalu memikirkan kondisi (perubahan) iklim dan pengaruhnya terhadapnya.

Harapan saya selanjutnya adalah supaya warung-warung Padang akan menyediakan rendang vegetarian dalam waktu dekat. Terima kasih sebelumnya, Bang!

Sabotase dan Sandalisme

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 29 Juni, 2019

Asal-usul kata sabotase agak kabur. Yang jelas, kata ini berasal dari bahasa Perancis: sabot adalah ‘sepatu kayu’ yang banyak dipakai  petani dan orang-orang tak berpunya. Salah satu teori yang sering dikemukakan ialah bahwa para pekerja kasar membuang sepatu mereka ke dalam mesin,  merusaknya, pada awal zaman industrialisasi sebagai protes atas ketakadilan yang mereka alami. Kemungkinan besar ini  mitos belaka sebab tak masuk akal orang miskin bersedia mengorbankan sepatunya begitu saja. Gampang pula mencari pelakunya.

Lanjut membaca

Kata Yang (Nyaris) Punah


[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada 18 Mei, 2019] K

Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan istilah Bahasa Swedia yang sudah lama tidak saya dengar, yakni radiokaka. Artinya secara harfiah ‘kue radio’, dan, jika dilihat sekilas, komposisi kata ini kelihatan tak masuk akal. Dalam konteks tertentu, istilah ini terasa wajar dan waras, muncul setelah Perang Dunia II ketika televisi belum masuk Swedia secara luas, pada masa orang haus warta ataupun hiburan. Radio memenuhi kebutuhan ini.

Lanjut membaca

Untung Gundul

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 24 Juli 2009.]

Terkadang saya bersyukur tak punya rambut di kepala. Selain tak perlu bingung menyisir helai-helai berhamburan, saya juga tak usah susah-payah mendengarkan omongan pemotong rambut yang terkesan dipaksa-paksa itu. Namun, alasan utama saya mensyukuri kebotakan saya ini: sukar mendapatkan sampo di Indonesia saat ini. Hampir mustahil sekarang memperoleh sampo. Yang ada hanya schampoo.

Lanjut membaca