Dot dan Titik

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 31 Agustus, 2013.]

Setiap orang yang pernah masuk pasar swalayan ataupun toko kecil di Indonesia dapat menarik kesimpulan bahwa susu bubuk merupakan bagian penting untuk setiap keluarga Indonesia yang salah satu anggotanya adalah anak kecil. Dalam iklan di media massa, susu bubuk ini digambarkan sebagai sumber kesehatan dan kepintaran dan kunci untuk segala kebaikan dan perkembangan. Tanpa susu yang benar yang diperkaya ini dan itu, anak Anda berisiko ketinggalan dari teman-teman dan nanti tidak siap menghadapi tantangan-tantangan lahir dan batin yang menunggunya di jalan kehidupan kelak. Toko-toko besar akan menyajikan puluhan meter di gang-gang sempitnya, yang hanya berisikan sejumlah produk susu. Saya tidak berani memikirkan jumlah uang yang diputar di dunia susu bubuk ini, dan saya juga tidak berani memikirkan peran dokter gigi dalam bisnis ini. Kan, susu yang hampir selalu manis ini juga memberi peluang (walau secara tidak langsung) kepada para dokter gigi. Sekarang saya di luar jalur kolom bahasa. Mari kembali kepada masalah kebahasaan.

Lanjut membaca

Gigi Biru

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 3 Agustus, 2013.]

Sebagai standar untuk komunikasi nirkabel, bluetooth semakin populer dan praktis digunakan. Dengan gampang, sebuah papan ketik, misalnya, dapat berkomunikasi tanpa halangan kabel dengan sebuah komputer, dan sepasang peranti dengar bisa berinteraksi dengan sebuah ponsel pintar tanpa menyusahkan dan membingungkan si pengguna dengan kehadiran kabel yang kian kerut. Nah, sebelum pembahasan ini dilanjutkan dari segi bahasa, tentu saja bahasa Indonesia perlu kita bersihkan dari noda yang berupa istilah bluetooth ini sendiri. Saran saya sederhana sekali: mari kita menyebutnya gigi biru. Toh, bluetooth adalah terjemahan langsung dari kata/nama blåtand, yang artinya justru ’gigi biru’.

Lanjut membaca

Teh Es dan Es Teh

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 6  Juli, 2013.]

Sebelumnya saya pernah menyinggung kesulitan yang dihadapi seseorang yang ingin memesan segelas jus jeruk di Indonesia. Minuman ini seolah-olah tidak dapat menjelma di sebuah restoran, rumah makan, hotel, atau warung di Nusantara kalau tidak dirujuk dengan kata-kata berbahasa asing. Ini cukup aneh mengingat jus mangga, jus pepaya, dan jus-jus lain dengan gampang bisa didapatkan, dan begitu juga dengan segelas orange juice. Kalau pembaca yang budiman tidak percaya, silakan coba memesan segelas jus jeruk pada malam Minggu nanti. Dan kalau berhasil, Anda mesti menerima tantangan berikutnya: memesan segelas jus jeruk di dalam pesawat. Itu pasti mustahil!

Lanjut membaca

Huru-hara

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 7  Juni, 2013.]

Setelah media Indonesia berberita mengenai kerusuhan yang terjadi di pinggiran Stockholm akhir-akhir ini, saya menerima beberapa surel dan pesan melalui media sosial dari kawan-kawan di Indonesia yang ikut prihatin terhadap situasi kemananan di Swedia secara umum dan terhadap keamanan kami sebagai keluarga secara khusus. Rumah kami kebetulan jauh lebih dekat dengan ibukota Denmark daripada ibukota Swedia, jadi kami selamat-selamat saja dari kekacauan yang mengguncang Stockholm pada awal musim panas ini.

Lanjut membaca

Manusia-Manusia Hewan

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 1 Maret, 2013.]

Pekan lalu saya secara pendek membahas idiom nyamuk pers dalam kolom bahasa ini. Walaupun Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa tidak memberi penilaian atas termulia-tidaknya ucapan ini, saya mengizinkan diri berkesimpulan bahwa nyamuk pers jarang dipakai untuk menghormati para wartawan. Sebaliknya, ini adalah idiom yang agaknya merendahkan kaum pewarta. Lanjut membaca

Jenis-Jenis Nyamuk

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 22 Februari, 2013.]

Pada suatu saat di sebuah negara nan jauh seorang anak bertanya kepada bapaknya: ”Pak, hewan apa yang paling berbahaya di dunia ini? Hewan apa yang paling menakutkan?” Tanpa perlu waktu untuk merenungkan masalah ini lebih lanjut, si bapak dengan segera menjawab, ”Nyamuk, Nak. Nyamuk.” Setelah memelototi bapaknya beberapa saat seolah-olah dia kehilangan akal sehatnya, si anak terjatuh saking keras tertawanya.

Lanjut membaca

Dua Ribu Ayam

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 14 September, 2012.]

Seandainya saya penjual sayur dan daging di pasar, niscaya pelanggan yang ingin membeli sekilo wortel akan saya beri seribu buah sayur berwarna lembayung itu. Calon pelanggan yang ingin memeriahkan pesta Lebaran dengan dua kilo ayam akan pulang ke rumah dengan dua ribu hewan yang siap dimasak. Dan, seandainya saya berkesempatan jadi tukang becak, pastilah calon penumpang yang hanya ingin keliling kota ”sekitar tiga kilo” harus saya tolak dengan alasan: saya hanya bekerja di satu kota saja. Barang tentu karier saya di bidang sayur-mayur ataupun transportasi tidak akan berlangsung lama, tapi setidaknya saya sudah ikut membela bahasa (meski dengan cara yang terlampau kaku, menurut sebagian orang dan lembaga).

Lanjut membaca

Bahasa Puitis

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 15 Juni, 2012.]

Ketika saya akhirnya mengirim naskah terakhir Kamus Swedia-Indonesia ke penerbit di Jakarta sekitar enam tahun yang lalu, saya bertekad tidak melibatkan diri dalam penyusunan kamus lagi. Tugas seperti itu amat melelahkan, sering kali membosankan dan bisa membuat orang putus asa dan menggila. Mengingat itu, alangkah terkejut saya ketika pada 1 Januari lalu saya mengawali penyusunan Kamus Indonesia-Swedia sebagai pelengkap kamus yang sudah beredar itu. Rencananya, kamus ini akan dikerjakan lebih cepat dan akan dibubuhi titik terakhir sebelum trompet tahun baru berbunyi pada tahun depan. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bawah ingatan saya cukup pendek.

Lanjut membaca

Golongan Menengah

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 25 Mei, 2012.]

Sejak dahulu orang suka menggolong-golongkan diri sendiri dan sesama manusia ke dalam macam-macam kelompok. Bisa kami duga bahwa penggolongan ini diterapkan agar dunia jadi lebih gampang dipahami dan juga agar kekuasaan dapat dilestarikan melalui garis-garis hierarki sosial yang dilahirkannya. Di India, misalnya, dikenal sistem kasta: walau sudah dilarang, tetap hidup dalam masyarakat setempat. Di Jawa hubungan sosial diwarnai oleh bahasa yang amat hierarkis agar tak ada yang lupa tempatnya pada tangga vertikal yang dinamakan kehidupan sosial.

Lanjut membaca

Beri-beri

[Tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Kompas pada tanggal 21 Oktober, 2011.]

Judul di atas tak mengacu kepada penyakit radang, juga tidak kepada kegiatan dermawan. Béri-béri di sini merujuk kepada benda kecil yang belum masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, belum dianugerahi lema sendiri. Beri adalah bagian akhir dari stroberi, sebuah kata yang sudah dapat entri tersendiri dalam KBBI. Nah, sebelum KBBI mencantumkan kata seperti bluberi dan blakberi, mari sejenak membahas jenis makanan lezat dan bergizi ini.

Lanjut membaca